tajrid dan tajdid
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Persyarikatan Muhammadiyah yang melintasi perjalanan usia
satu abad senantiasa bersinggungan dan memiliki kaitan dengan berbagai
permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat manusia saat ini, baik dalam
lingkup nasional maupun global, termasuk di dalamnya dinamika kehidupan umat
Islam. Posisi Muhammadiyah dalam dinamika dan permasalahan kehidupan nasional,
global, dan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas dibingkai dan ditandai
dengan lima peran yang secara umum menggambarkan misi Persyarikatan.
Kelima peran tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid terus mendorong tumbuhnya gerakan pemurnian ajaran Islam
dalam masalah yang baku (al-tsawabit) dan
pengembangan pemikiran dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang menitikberatkan
aktivitasnya pada dakwah amar makruf nahi munkar. Kedua, Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam dengan semangat tajdid yang dimilikinya terus mendorong
tumbuhnya pemikiran Islam secara sehat dalam berbagai bidang kehidupan.
Pengembangan pemikiran Islam yang berwatak tajdid tersebut sebagai
realisasi dari ikhtiar mewujudkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin
yang berguna dan fungsional bagi pemecahan permasalahan umat, bangsa, negara,
dan kemanusiaan dalam tataran peradaban global. Ketiga, sebagai
salah satu komponen bangsa, Muhammadiyah bertanggung jawab atas berbagai upaya
untuk tercapainya cita-cita bangsa dan Negara Indonesia, sebagaimana dituangkan
dalam Pembukaan Konstitusi Negara. Keempat, sebagai warga Dunia Islam, Muhammadiyah
bertanggung jawab atas terwujudnya kemajuan umat Islam di segala bidang
kehidupan, bebas dari ketertinggalan, keterasingan, dan
keteraniayaan dalam percaturan dan peradaban global. Kelima, sebagai warga dunia, Muhammadiyah senantiasa
bertanggungjawab atas terciptanya tatanan dunia yang adil, sejahtera, dan
berperadaban tinggi sesuai dengan misi membawa pesan Islam sebagai rahmatan
lil-alamin.
B.
Rumusan Masalah
- Pengertian Tajrid dan Tajdid ?
- Bagaimana watak Muhammadiyah sebagai gerakan Tajrid dan Tajdid ?
- Bagaimana model Tajrid dan Tajdid Muhammadiyah ?
- Bagaimana model keagamaan Muhammadiyah ?
- Bagaimana gerakan Tajdid pada 100 tahun pertama ?
- Bagaimana gerakan Tajdid pada 100 tahun kedua ?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Tajrid dan Tajdid.
- Pengertian Tajrid
Istilah Tajrid berasal dari bahasa Arab
berarti pengosongan, pengungsian, pengupasan, Pelepasan atau pengambil alihan
(Atabik Ali, 1999:410). Sedangkan tajrid dalam bahasa Indonesia berarti
pemurnian. Istilah ini, tidak se populer ketika menyebut istilah tajdid,
sekalipun yang dimaksudkan adalah memurnikan hal-hal yang bersifat khusus.
Dalam ibadah kita tajrid, hanya mengikuti Nabi Muhammad saw dan
tidak ada pembaharuan. Sedang dalam muamalah kita tajdid, yakni
melakukan modernisasi dan pembaruan.
- Pengertian Tajdid
Istilah tajdid berasal dari bahasa Arab
yaitu jaddada, yang berarti memperbaharui atau menjadikan baru. Kata ini pula
bentukan dari kata jadda, yajiddu, jiddan/jiddatan, artinya sesuatu yang
ternama, yang besar, nasib baik dan baru. Bisa juga berarti membangkitkan,
menjadikan, (muda, tangkas, kuat). Dapat pula berarti memperbaharui,
memperpanjang izin, dispensasi, kontrak. Dalam kamus Bahasa Indonesia tajdid
berarti pembaruan, modernisasi atau restorasi. Orang yang melakukan pembaruan
disebut mujaddid. Sedangkan istilah modernis (Inggris) atau modernisasi (Indonesia) atau
pembaruan, dalam Islam, diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk
melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang
masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan
dengan perkembangan zaman.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
kiranya dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan Islam
modernis adalah faham keislaman yang didukung oleh sikap yang rasional, ilmiah
serta sejalan dengan hukum-hukum Tuhan baik yang terdapat dalam al-Qur’an
(wahyu tertulis) maupun dalam alam raya berupa sunnatullah (wahyu yang tidak
tertulis).
- Watak Muhammadiyah sebagai gerakan Tajrid dan Tajdid
Dalam Muhammadiyah kekuatan tajdidnya
terletak pada upaya menjaga keseimbangan (tawazun) antara purifikasi dan
dinamisasi, sesuai dengan bidangnya. Kalau kesimbangan ini goyah, maka tajdid
menjadi kurang sempurna dan sulit disandingkan dengan perkembangan zaman.
Selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modern yang telah melakukan
perubahan dalam kehidupan keagamaan, sosial, budaya, dan politik. Selain itu,
tajdid dalam pandangan Muhammadiyah merupakann salah satu bentuk
implementasi nilai ajaran Islam setelah meninggalnya Nabi. Munculnya
Gerakan tajdid sebagai jawaban terhadap tantangan kemunduran yang dialami dan
atau tantangan terhadap kemajuan oleh kaum muslimin. Juga didasarkan pada
landasan teologis yang menyebutkan perlunya pembaruan setiap seratus tahun.
- Model Tajrid dan Tajdid Muhammadiyah
- Model-model Tajrid Muhammadiyah.
a.
Dalam bidang kepercayaan dan ibadah, muatannya menjadi khurafat dan
bid’ah. Khurafat adalah kepercayaan tanpa pedoman yang sah dari al-Qur’an
dan al-Sunnah. Hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang. Sedangkan bid’ah
biasanya muncul karena ingin memperbanyak ritual tetapi pengetahuan Islamnya
kurang luas, sehingga yang dilakukan adalah bukan dari ajaran Islam. Misalnya
selamatan dengan kenduri dan tahlil dengan menggunakan lafal Islam.
Masyarakat Jawa pada umumnya menggunakan upacara selamatan, dalam berbagai
peristiwa, seperti kelahiran, khitan, perkawinan, kematian, pindah rumah,
panen, ganti nama, dan sejenisnya. Namun, diantara macam-macam selamatan yang
paling menonjol adalah selamatan kematian, yaitu terdiri dari tiga hari, empat
puluh hari,seratus hari, dan kahul. Selamatan ini selalu diringi dengan membaca
tahlil sebagai cara mengirim do’a kepada si mayit.
Bentuk khurafat lain yang biasa dilakukan orang Jawa adalah penghormatan
kuburan orang-orang suci, sambil meminta do’a restu, jimat, benda-benda pusaka
dianggap mempunyai kekuatan ghaib yang mampu melindungi.
Realitas sosio-agama yang dipraktikkan masyarakat inilah yang mendorong Ahmad
Dahlan melakukan pemurnian melalui organisasi Muhammadiyah. munawir Syazali
mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan pemurnian yang menginginkan
pembersihan Islam dari semua unsur singkretis dan daki-daki tidak Islami
lainnya.
- Model-model Tajdid Muhammadiyah.
Pertama; kongkrit dan produktif, yaitu
melalui amal usaha yang didirikan, hasilnya kongkrit dapat dirasakan dan
dimanfaatkan oleh umat Islam, bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh
dunia. Suburnya amal saleh di lingkungan aktivis Muhammadiyah ditujukan kepada
komunitas Muhammadiyah, bangsa dan kepada seluruh umat manusia di dunia dalam
rangka rahmatan lil alamin.
Kedua; tajdid Muhammadiyah bersifat
terbuka. Maksud dari keterbukaan tersebut, Muhammadiyah mampu mengantisipasi
perubahan dan kemajuan di sekitar kita. Dari sekian amal usahanya, rumah
sakitnya misalnya, dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapapun. Sekolah
sampai kampusnya boleh dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau
Muhammadiyah mendirikan lembaga ekonomi dan usaha atau jasa, maka yang menjadi
nasabah, partner dan komsumennya pun bisa siapa saja yang membutuhkan.
Ketiga; tajdid Muhammadiyah sangat
fungsional dan selaras dengan cita-cita Muhammadiyah untuk menjadikan Islam
itu, sebagai agama yang berkemajuan, juga Islam yang berkebajikan yang
senantiasa hadir sebagai pemecah masalah-masalah (problem solv), temasuk
masalah kesehatan,pendidikan, dan masalah sosial ekonomi.
Dengan Demikian model Tajdid dibagi dalam tiga
bidang, yaitu :
1) Bidang
keagamaan
Pembaharuan
dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang
berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin
menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan pemikiran
tambahan lain. Pembaharuan dalam bidang kaagamaan adalah memurnikan kembali
atau mengembalikan kepada aslinya, oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik
yang menyangkut akidah atau pun ibadah harus sesuai dengan aslinya, yang
sebagai mana diperintahkan dalam Al-Qur’an dan as sunah.
Dalam masalah akidah muhammadiyah
bekerja untuk tegaknya akidah islam yang murni, bersih dari gejala kemusyrikan,
bid’ah dan curafat tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut islam. Sedangkan
dalam ibadah, muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana
yang dituntunkan Rasullah tanpa perubahan dan tambahan dari manusia. Usaha
permurnian yang dilakukan muhamaadiyah terhadap keadaan keagamaan yang tampak
dari serapan berbagai unsur kebudayaan yang ada di indonesia yaitu
Penentuan arah kiblat dalam sholat, yang sebelumnya
mengarah tepat ke arah barat.
2) Bidang
pendidikan
Dalam bidang ini Muhammadiyah
mempelopori dan meyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih
nyata. Bagi Muhammdiyah pendidikan memiliki arti yang penting dalam penyebaran
ajaran islam, karena melalui bidang pendidikan pemahaman tentang islam dapat
diwariskan dan ditanamkan dari generasi kegenerasi.
Pembaharuan dari segi pendidikan memiliki dua segi yaitu
a. Segi
cita-cita
Dari segi ini ingin membentuk manusia
muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah
ilmu keduniaan, dan bersidia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
b. Segi
teknik pengajaran
Dari segi ini lebih banyak berhubungan dengan cara penyelenggaraan pengajaran.
Dengan mengambil unsur-unsur yang baik dari sistem pendidikan barat dan sistem
pendidikan tradisonal, muhammadiyah berhasil membangun sistem pendidikan
sendiri. Seperti sekolah model barat yang dimasukkan pelajaran agama
didalamnya, sekolah agama dengan menyertakan perlajaran umum.
Selain pembaharuan dalam pendidikan
formal, Muhammadiyah juga telah mempebaharui pendidika tradisional non formal
yaitu pengajian. Dimana yang semula pengajarnya hanya mengajar ngaji dan ibadah
oleh muhammadiyah diperluas dan pengajian di sistematiskan dan diarahkan pada
masalah kehidupan sehari-hari.
Begitupula muhammadiyah telah
mewujudkan bidang bimbingaan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang
diperlukan dan mungkin bersifat pribadi.
3) Bidang
sosial masyarakat
Muhammadiyah merintis bidang sosial
kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah
singgah, panti jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia
yang dikelola melalui amal usahanya dan bukan secara individual sebagai mana
dilakukan orang pada umumnya. Usaha pembaharuan dalam bidang sosial
kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoen
(PKO)di tahun 1923. Perhatian terhadap kesengsaraan orang lain merupakan
kewajiban orang muslim, sebagai perwujudan tuntunan agama yang jelas untuk ber
amal ma’ruf dan juga sebagai bentuk pengamalan firman Allah dalam surat
Al-ma;un 107: 1-7
Yang artinya “ Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama, itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak
menganjurkan memberi makanan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat,(yaitu) orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang berbuat riya
dan enggan(menolong dengan) barang berguna.”.
- Model Keagamaan Muhammadiyah
Organisasi Muhammadiyah adalah organisasi peregerakan.
Daya juang para kader organisasi dalam mendalami dunia dakwah demi tersebarnya
syariat-syariat Islami merupakan sebuah isyarat bahwa gerakan Muhammadiyah
telah menembus batas tradisi dan budaya, khususunya di Indonesia, tempat dimana
organisasi ini berkembang dan mewujud. Setiap kader dituntut agar bergerak
dinamis, dapat menjiwai nilai-nilai organisasi dan khatam secara idiologi
Muhammadiyah.
Secara harfiah terdapat perbedaan antara kata “gerak”,
gerakan dan pergerakan. Gerak sendiri merupakan perubahan suatu materi dari
tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Sedangkan gerakan berarti perbuatan
atau keadaan bergerak, dan pergerakan adalah usaha atau kegiatan. Pergerakan
identik dengan kegiatan dalam ranah sosial. Dengan demikian, kata gerakan atau
pergerakan mengandung arti, unsur, dan esensi yang dinamis dan statis.
(Q.S.3:104). “perubahan/change”, yakni kehadirannya untuk melakukan perubahan
tertentu baik yang evolusioner maupun revolusioner. Gerakan sosial
kemasyarakatan adalah suatu bentuk kolektif berkelanjutan yang mendorong atau
menghambat perubahan dalam masyarakat atau organisasi yang merupakan bagian
dari masyarakat tersebut
- Gerakan Tajdid pada 100 Tahun Pertama
Pada permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan
munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang pada esensinya
dapat dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari serangkaian gerakan
pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari Ibnu Taimiyah di Siria,
diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al
Afghani bersama muridnya Muhammad Abduh di Mesir. Munculnya gerakan pembaharuan
pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai proses Islamisasi
yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang terus berlangsung
-meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu proses dimana sejumlah besar orang
Islam memandang keadaan agama yang ada, termasuk diri mereka sendiri, sebagai
belum memuaskan. Karenanya sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami
kembali Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap
sebagai standard Islam yang benar.
Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-pikiran
abstrak tetapi diungkapkan secara nyata dan dalam bentuk organisasi-organisasi
yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di Indonesia adalah
Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330
H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M.
KH. Ahmad Dahlan yang semasa kecilnya bernama Muhammad
Darwis dilahirkan di Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah KH. Abu Bakar,
Imam dan Khatib Masjid Besar Kauman, dan Ibu yang bernama Siti Aminah binti KH.
Ibrahim penghulu besar di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi
pekerjaan ayahnya menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah ia melihat
praktek-praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi dalem Kraton,
sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki keadaan.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh Dahlan pada
mulanya bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama di kalangan
penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli berbunyi (dengan
ejaan baru):
Maka perhimpunan
itu maksudnya :
a. Menyebarkan pengajaran Agama Kanjeng Nabi
Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam
residentie Yogyakarta.
b. Memajukan hal Agama Islam kepada
anggota-anggotanya.
Berkat kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin
organisasinya, maka dalam waktu singkat organisasi itu mengalami perkembangan
pesat sehingga tidak lagi dibatasi pada residensi Yogyakarta, melainkan meluas
ke seluruh Jawa dan menjelang tahun 1930 telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa.
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah
pembaharuan (tajdid) pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan dengan
pembaharuan oleh Muhammadiyah ialah yang seperti yang dikemukakan M.
Djindar Tamimy: Maksud dari kata-kata “tajdid” (bahasa Arab) yang artinya
“pembaharuan” adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut
sasarannya :
Pertama :
berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya,
ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang
sifatnya tetap/tidak berubah-ubah.
Kedua
: berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila
tajdid itu sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik,
strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya
berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.
Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan
watak daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya.
Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan itu tidaklah
selamanya berarti memodernkan, akan tetapi juga memurnikan, membersihkan yang
bukan ajaran.
Muhammadiyah
adalah gerakan keagamaan yang bertujuan menegakkan agama Islam ditengah-tengah
masyarakat, sehingga terwujud masyarakat Islam sebenar-benarnya.
Islam sebagai
agama terakhir, tidaklah memisahkan masalah rohani dan persoalan dunia, tetapi
mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang memancar ke dalam berbagai aspek
kehidupan tetaplah merupakan satu kesatuan suatu keutuhan. Pembaharuan Islam
sebagai satu kesatuan inilah yang ditampilkan Muhammadiyah itu sendiri.
Sehingga dalam perkembangan sekarang ini Muhammadiyah menampakkan diri sebagai
pengembangan dari pemikiran perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan oleh KH.
Ahmad Dahlan sebagai karya amal shaleh.
- Gerakan Tajdid pada 100 Tahun Kedua
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama
usianya pasti berbeda dari abad kedua usianya, meskipun
kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan
Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse
keislaman baik dalam teori maupun praktek.
Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya.
Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Dalam memasuki fase kedua gerakannya, yakni memasuki abad kedua perjalanan sejarah Muhammadiyah, sudah tinggi waktu dan kesempatan untuk melakukan pembaruan paradigma tajdid di tubuh persyarikatan ini. Kodifikasi dan konsensus tajdid yang terpadu atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi dapat menjadi titik tolak bagi transformasi paradigma tajdid Muhammadiyah. Selain tidak akan terjebak pada ekstrimitas yang radikal baik ke arah “radikal kiri” maupun “radikal kanan” dalam pemikiran Islam, transformasi tajdid yang bercorak purifikasi dan dinamisasi sekaligus memberikan jalan keluar atau solusi untuk melakukan rancang bangun tajdid jilid kedua bagi Muhammadiyah saat ini dan ke depan dalam usianya yang memasuki satu abad menuju era baru abad berikutnya.
Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya.
Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Dalam memasuki fase kedua gerakannya, yakni memasuki abad kedua perjalanan sejarah Muhammadiyah, sudah tinggi waktu dan kesempatan untuk melakukan pembaruan paradigma tajdid di tubuh persyarikatan ini. Kodifikasi dan konsensus tajdid yang terpadu atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi dapat menjadi titik tolak bagi transformasi paradigma tajdid Muhammadiyah. Selain tidak akan terjebak pada ekstrimitas yang radikal baik ke arah “radikal kiri” maupun “radikal kanan” dalam pemikiran Islam, transformasi tajdid yang bercorak purifikasi dan dinamisasi sekaligus memberikan jalan keluar atau solusi untuk melakukan rancang bangun tajdid jilid kedua bagi Muhammadiyah saat ini dan ke depan dalam usianya yang memasuki satu abad menuju era baru abad berikutnya.
Dalam
transformasi orientasi tajdidnya, Muhammadiyah di satu pihak tidak terjebak
pada pemurnian semata minus pembaruan, sebaliknya pembaruan tanpa peneguhan,
sehingga terdapat ruang untuk transformasi atau perubahan secara seimbang
antara pemurnian dan pengembangan atau antara peneguhan dan pencerahan. Namun
paradigma dan strategi yang eklektik atau tengahan seperti itu jika dibiarkan
sekadar normatif belaka maka hanya akan indah di ranah teori atau klaim
tetapi sering tidak aktual atau mewujud dalam kenyataan secara jelas dan tegas.
Jika tanpa rancang-bangun yang jelas tajdid purifikasi dan dinamisasi bahkan dapat
melahirkan kecenderungan kehilangan dua-duanya, yakni tidak pemurnian sekaligus
tidak pembaruan. Di sinilah pentingnya transformasi paradigmatik dalam
orientasi tanjdid purifikasi plus dinamisasi atau dinamisasi plus
purifikasi dalam gerakan Muhammadiyah.
Dalam penyusunan rancang-bangun paradigma tajdid yang
integratif atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi, Muhammadiyah
diperlukan penyusunan agenda-agenda strategis yang sifatnya menyusun ulang
bangunan konseptual yang selama ini telah dimiliki Muhammadiyah dengan
keberanian untuk mengambil keputusan tanpa sering terjebak pada sikap mauquf.
Jika sejumlah hal mauquf terus maka akan ada kevakuman atau stagnasi dalam
gerakan, kendati sikap kehati-hatian itu tetap diperlukan. Namun hati-hati
terus menerus tanpa berani mengambil keputusan maka akan menjadi agenda yang
tidak berkesudahan, padahal Muhammadiyah harus terus bergerak menghadapi
masalah-masalah dan tantangan-tantangan baru. Dua materi strategis dapat
diselesaikan dalam Muhammadiyah menyangkut fondasi pemikiran yang fundamental
dalam gerakan Islam ini. Pertama, menyelesaikan atau memulai kembali
penyusunan buku Risalah Islamiyah yang berisi tentang Islam dalam berbagai
aspeknya yang menjadi pandangan resmi Muhammadiyah. Tanpa memiliki pandangan yang
substantif dan komprehensif mengenai Islam maka akan sering terjadi
tarik-menarik pandangan dalam Muhammadiyah mengenai hal-hal yang fundamental
mengenai aspek-aspek ajaran Islam. Materi dalam al-Masail al-Khamsah (Masalah
Lima) mengenai mâ hua al-din (apa itu agama), Matan Keyakinan dan Cita-Cita
Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan berbagai
rumusan resmi lainnya dapat menjadi dasar bagi perumusan Risalah Islam dalam
pandangan Muhammadiyah. Dalam Risalah Islam itu dibahas dan dijelaskan pula
secara komprehensif mengenai pandangan Islam tentang perempuan, sehingga
menghasilkan pandangan yang substantif, mendalam, dan luas dari
Muhammadiyah. Perumusan dan elaborasi Risalah Islam yang komprehensif sekaligus
dapat menjadi jawaban atas keperluan Muhammadiyah untuk memberi substansi atas
slogan al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah sebagaimana selama satu abad
perjalanannya telah menjadi ikon sekaligus tema gerakan yang nyaring. Warga
Muhammadiyah memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai isi dan
metodologi tentang apa, kenapa, dan bagaimana caranya harus Kembali kepada
Al-Quran dan As-Sunnah (yang maqbulah). Jika Muhammadiyah telah meneguhkan
dirinya sebagai Gerakan Islam, maka Islam yang seperti apa yang diyakini, dipahami,
dan diamalkan oleh Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran tentang Islam sebagaimana
terkandung dalam al-Masail al-Khamsah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan
materi awal dan pokok untuk kepentingan perumusan dan penyusunan Risalah Islam
tersebut. Umat Islam lain dan pihak luar juga dapat memiliki rujukan yang jelas
apa dan bagaimana sebenarnya pandangan Muhammadiyah tentang Islam yang bersifat
komprehensif.
Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas tentang Manhaj Tarjih mengenai tiga pendekatan dalam memahami Islam yaitu bayani, burhani, dan irfani. Pengembangan yang bersifat elaborasi terhadap manhaj tarjih tersebut sangat diperlukan untuk memperluas cakrawala metodologis dalam pengembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan paradigma purifikasi dan dinamisasi maka pengembangan atau elaborasi pendekatan bayani, burhani, dan irfani akan menghasilkan konstruksi metodologis yang jelas dan luas dari manhaj tarjih. Jangan biarkan di antarea warga Muhammadiyah terjebak pada logika saling sesat-menyesatkan tanpa ilmu hanya karena kehilangan pegangan dan perspektif mengenai metodologi pemikiran Islam yang dipedomani dalam Muhammadiyah. Elaborasi metodologi bayani, burhani, dan irfani juga diperukan agar diperoleh pedoman yang jelas sekaligus menyelesaikan kontroversi pada masing-masing pendekatan. Ketiga pendekatan yang bersifat integratif tersebut (bayani, burhani, irfani) sebenarnya dapat memecahkan atau merupakan jalan keluar dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini menjadi bagian yang dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah antara garis ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual atau kategori lain yang sejenis yang saling berlawanan secara diametral. Langkah yang diperlukan ialah pertama melakukan teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik ke level epistemologi agar manhaj Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah memiliki bangunan epistemologis yang kokoh dan berada dalam paradigma perspektivisme (banyak perspektif, tidak tunggal) baik yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu Islam klasik maupun kontemporer. Kedua, elaborasi metodologis, yakni menurunkan kerangka berpikir pada ketiga pendekatan tersebut ke dalam berbagai cara berpikir (metode) yang lebih detail terutama ketika menjelaskan dimensi-dimensi ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah pada tataran praksis. Dengan demikian diperoleh perspektif pengembangan pemikiran Islam yang komprehensif dan memiliki landasan yang kokoh dalam ajaran Islam.
Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah, organisasi, amal usaha, pengembangan kader dan anggota, dan berbagai model aksi gerakan agar Muhammadiyah tampil menjadi gerakan Islam yang unggul dan bergerak di garis depan dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan perkembangan global. Modsel modernis-reformis perlu dikembangkan menjadi model transformatif yang lebih dinamis, kaya pemikiran, dan langsung ke jantung persoalan-persoalan struktural dan kultural dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Muhammadiyah dengan seluruh komponen dan lini organisasinya tidak cukup memadai hanya bertahan dengan strategi dan model gerakan seperti sekarang ini, yang cenderung formalistik, rutin, dan bertahan dengan status-quo yang dimiliki. Muhammadiyah sebagai organisasi dituntut untuk tampil lebih reformis, produktif, emansipatoris, dan partisipatoris di tengah lalulintas dinamika gerakan-gerakan keagamaan dan gerakan-gerakan sosial-kemasyarakatan yang semakin kompetitif saat ini. Muhammadiyah bahkan perlu memiliki militansi yang lebih kuat agar kebesaran dirinya tidak kalah lincah dan dinamis dari gerakan-gerakan lain di negeri ini, yang dalam bahasa Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham) tidak menjadi gajah bengkak yang besar tetapi lambat bergerak.
Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas tentang Manhaj Tarjih mengenai tiga pendekatan dalam memahami Islam yaitu bayani, burhani, dan irfani. Pengembangan yang bersifat elaborasi terhadap manhaj tarjih tersebut sangat diperlukan untuk memperluas cakrawala metodologis dalam pengembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan paradigma purifikasi dan dinamisasi maka pengembangan atau elaborasi pendekatan bayani, burhani, dan irfani akan menghasilkan konstruksi metodologis yang jelas dan luas dari manhaj tarjih. Jangan biarkan di antarea warga Muhammadiyah terjebak pada logika saling sesat-menyesatkan tanpa ilmu hanya karena kehilangan pegangan dan perspektif mengenai metodologi pemikiran Islam yang dipedomani dalam Muhammadiyah. Elaborasi metodologi bayani, burhani, dan irfani juga diperukan agar diperoleh pedoman yang jelas sekaligus menyelesaikan kontroversi pada masing-masing pendekatan. Ketiga pendekatan yang bersifat integratif tersebut (bayani, burhani, irfani) sebenarnya dapat memecahkan atau merupakan jalan keluar dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini menjadi bagian yang dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah antara garis ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual atau kategori lain yang sejenis yang saling berlawanan secara diametral. Langkah yang diperlukan ialah pertama melakukan teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik ke level epistemologi agar manhaj Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah memiliki bangunan epistemologis yang kokoh dan berada dalam paradigma perspektivisme (banyak perspektif, tidak tunggal) baik yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu Islam klasik maupun kontemporer. Kedua, elaborasi metodologis, yakni menurunkan kerangka berpikir pada ketiga pendekatan tersebut ke dalam berbagai cara berpikir (metode) yang lebih detail terutama ketika menjelaskan dimensi-dimensi ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah pada tataran praksis. Dengan demikian diperoleh perspektif pengembangan pemikiran Islam yang komprehensif dan memiliki landasan yang kokoh dalam ajaran Islam.
Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah, organisasi, amal usaha, pengembangan kader dan anggota, dan berbagai model aksi gerakan agar Muhammadiyah tampil menjadi gerakan Islam yang unggul dan bergerak di garis depan dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan perkembangan global. Modsel modernis-reformis perlu dikembangkan menjadi model transformatif yang lebih dinamis, kaya pemikiran, dan langsung ke jantung persoalan-persoalan struktural dan kultural dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Muhammadiyah dengan seluruh komponen dan lini organisasinya tidak cukup memadai hanya bertahan dengan strategi dan model gerakan seperti sekarang ini, yang cenderung formalistik, rutin, dan bertahan dengan status-quo yang dimiliki. Muhammadiyah sebagai organisasi dituntut untuk tampil lebih reformis, produktif, emansipatoris, dan partisipatoris di tengah lalulintas dinamika gerakan-gerakan keagamaan dan gerakan-gerakan sosial-kemasyarakatan yang semakin kompetitif saat ini. Muhammadiyah bahkan perlu memiliki militansi yang lebih kuat agar kebesaran dirinya tidak kalah lincah dan dinamis dari gerakan-gerakan lain di negeri ini, yang dalam bahasa Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham) tidak menjadi gajah bengkak yang besar tetapi lambat bergerak.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tajdid adalah mengembalikan ajaran
agama Islam kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena sekarang ini a
Komentar
Posting Komentar