MAKALAH TENTANG RIBA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya makalah ini telah dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Hadits Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, dengan harapan agar kita semua mengerti dan memahami  tentang kajian RIBA. Makalah ini diharapkan dapat dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa di dalam maupun di luar kegiatan perkuliahan.

Kepada berbagai pihak yang telah berpartisipasi dalam proses penyusunan makalah ini, kami ucapkan terima kasih. Kepada para pembaca, kami berharap makalah ini dapat dimanfaatkan dengan baik dan demi perbaikan, kami mengharapkan adanya masukan-masukan untuk penyempurnaan makalah ini di masa mendatang.

Metro, 24 September 2016


Penulis












DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI............................................................................................................ ........... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang................................................................................. ........... iv

1.2.            Rumusan Masalah........................................................................... ........... v

1.3.            Tujuan............................................................................................... ........... v

BAB II PEMBAHASAN

1.      Pengertian Riba............................................................................................ ........... 1

2.      Jenis-jenis Riba............................................................................................. ........... 4

3.      Riba dan Bunga........................................................................................... ........... 5

4.      Jenis Barang Ribawi.................................................................................... ........... 6

5.      Larangan Riba Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah................................... ........... 7

6.      Riba dan Jual Beli........................................................................................ ........... 10

7.      Cara Menghindari Riba dalam Ekonomi Islam........................................ ........... 18

8.      Manfaat Berekonomi Tanpa Dengan Riba............................................... ........... 20

BAB III PENUTUP

A.    KESIMPULAN............................................................................................ ........... 21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ........... 22








BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Alam semesta ini adalah milik Allah SWT sedangkan manusia adalah penerima kepercayaan dari Allah yang harus dipeliharanya. Dengan berkembangnya peradaban manusia, manusia banyak melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mulai dari menabung, meminjam uang, dan sampai kepada yang menggunakan jasa untuk mngirim uang dari berbagai kota dan negara.  Dalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam telah memberi ketetapan bahwa riba hukumnya adalah haram.

Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan presentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang telah dibebankan kepada peminjam. Secara umum, riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Mengenai riba, Islam bersikap keras dalam persoalan ini karena semata-mata demi melindungi kemslahatan manusia baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya. Karena, Pada hakekatnya riba (kredit lunak berbunga besar), atau pinjaman yang salah penerapannya akan berakibat “meningkatnya harga barang yang normal menjadi sangat tinggi, atau berpengaruh besar terhadap neraca pembayaran antar bangsa, kemudian berakibat melejitnya laju inflasi, akibatnya akan dirasakan pada semua orang pada semua tingkah penghidupan.










      1.2  Rumusan Masalah

            1.2.1        Apakah yang dimaksud  Riba ?

            1.2.2        Mengapa Riba dalam Islam diharamkan?

            1.2.3        Bagaimana cara untuk menghindari Riba?



      1.3  Tujuan

            1.3.1        Untuk mengetahui pengertian Riba

            1.3.2        Untuk mengetahui sebab-sebab riba diharamkan dalam  ekonomi Islam

            1.3.3        Untuk mengetahui cara yang harus dilakukan untuk menghindari Riba













BAB II

PEMBAHASAN

1.      Pengertian Riba

Riba menurut pengertian bahasa adalah ziyadah yang berarti tambahan. Adapun secara istilah riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.

Allah Swt telah mengingatkan dalam firman-Nya,

يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْالاَتَأْكُلُوْاأَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبطِلِ...

            “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil...” (an-Nisaa’: 29)

Adapun pengertian riba menurut beberapa Ulama adalah sebagai berikut :

1.      Menurut Mughni Muhtaj oleh Syarbini

 Riba adalah suatu akad atau transaksi atas barang yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi objek akad atau salah satunya.

2.      Menurut Al-Jurnaini

Riba yaitu kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyariatkan dari salah seorang bagi dua orang yang membuat akad.

3.      Menurut Imam Ar-Razi dalam tafsir Al-Qur’an

Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti rugi, sebab orang yang meminjamkan uang 1000 rupiah mengganti dengan 2000 rupiah, maka ia mendapat tambahan 1000 rupiah tanpa  ganti.

4.      Menurut Ijtima Fatwa Ulama Indonesia

Riba adalah tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena penanggungan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya atau biasa disebut dengan riba nasi’at.


                  Dapat disimpulkan bahwa Riba adalah suatu akad atau transaksi atas barang yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi objek akad atau salah satunya.

Riba termasuk kebiasaan zaman jahili. Ayat yang membawa masalah riba ialah:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الّرِّبَوالَا يَقُوْمُوْنَ اِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِىْ يَتَخَّبَطُهُ الشَّيْطَنُ مِنَ المَسِّ,ذَلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْااِنَّمَا البَيْعُ مِثْلُ رِّبَو,وَاَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا . فَمَنْ خَآءَهُ مَوْ عِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهِ فَا نْتَهَى فَلَهُ مَاسَلَفَ وَاَمْرُهُ

اِلَى اللهِ, وَمَنْ عَادَفَاُولَئِكَ اَصْحَابُ النَّارِ, هُمْ فِيْهَا خَلِدُوْنَ. يَمْحَقُ للهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدَقَاتِ

1.      Orang-orang yang memakan hasil riba tidak dapat berdiri (di akhirat), kecuali seperti orang yang ditampar syetan (kemasukan syetan). Sebabnya ialah karena mereka berpendapat, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...

2.      Allah tidak memberkahi hasil riba dan memberkahi hasil sedekah...

Mengenai pengaruh riba atas umat manusia diperingatkan Rasulullah:

Adapun bekerja atau jadi pegawainya, maka termasuk mencari penghidupan dari hasil perbuatan haram. Jika berdoa kepada Allah tidak akan dikabulkan oleh Allah Swt., dan pemakannya dengan mudah jatuh ke lembah perbuatan berdosa. Jika anda sedang dalam situasi seperti itu, maka usahakanlah segeranya menukar sumberhidup, sehingga anda disitu hanya karena terpaksa saja yaitu karena memelihata nyawa dan itulah satu-satunya jalan usaha yang ada pada waktu itu. Sabda Rasulullah Saw.:

عَنْ جَابِرِ رَضِيَ اللُه عَنْهُ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا, وَمُوكِلَهُ, وَكَاتِبَهُ, وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هَمْ سَوَاءٌ. رَوَاهُ مُسْلِمْ, وَلِلْبُخَارِيُّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيْثِ اَبِى حُجَيْفَةَ.

“Jabir RA menceritakan, bahwa Rasulullah Saw., mengutuk pemakan riba, yang mewakilinya, juru tulisnya, dan kedua orang saksinya. “Kemudian Beliau tambahkan, “Mereka itu sama saja”.




وعن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال: الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًااَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ المُسْلِمِ. رواه ابن ماجه مُخْتَصَرًا,وَلحَاكِمِ بِتَمَامِهِ وَصَحَّحَهُ.

“Abdullah bin Mas’ud RA, bahwa Nabi Saw., bersabda, “pintu riba itu tujuh puluh tiga. Yang paling ringan (dosanya) ialah laksana dosa orang yang menyetubuhi ibu kandungnya. Yang paling berat (dosanya) ialah laksana dosa menodai akhlak muslim yang baik”.[1]

Mengenai jumlah tujuh puluh tiga macam itu, tidak ada uraian terperinci dari Rasulullah Saw. Itu hanyalah untuk menggambarkan demikian bersimpang siurnya macam-macam riba.

وَعَنْ ابي سعيد الخُدْرِيِّ رضي الله عنه انّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: لاَ تَبِيْعُوْاالّذَ هَبَ بِالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلًا بِ مِثْلٍ, وَلَا تَشِفُّوابَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ, وَلَا تَبِيْعُوا مِنْهَا غَا ئِبًا بِنَا جِزٍ.(متفق عليم)

“Dari Abi Said Khudri RA menceritakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Janganlah kamu menjual emas dengan emas, kecuali jika sama, dengan kamu lebihkan sebagian atas bagian lainnya, jangan kamu jual uang dengan uang, kecuali dengan harga yang sama, jangan kamu menambah sebagian atas yang lain yang sama, dan jangan menjual yang tidak kelihatan dengan yang kelihatan”.

            Yang dimaksud ‘uang dengan uang’ itu ialah berdagang mata uang yang sama, seperti berdagang rupiah dengan rupiah. Misalkan menukarkan uang kertas Rp.10.000,00 dengan uang recehan Rp.1000,00 ,akan tetapi dengan memotongnya satu lembar jadi Rp.9000,00. Tetapi, jika menukarkan mata uang yang berlainan seperti dolar dengan rupiah dll maka tidak apa2 karena bernilai sama


وَعَنْ عُبَا دَةَ بْنِ الصَّامِتِ رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم الّذَّ هَبُ بِا الذَّ هَبِ, وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ,وَلبُرُّ بِالبُرِّ, واَلشَّعِيْرُ بِا لشَّعِيْرِ, والتَّمْرُ بِالتَّمْرِ, وَالمِلْحُ بِا لْمِلْحِ, مِثْلًا بِمِثْلٍ, سَوَاءً بِسَوَاءٍ, يَدًابِيَدٍ, فَإِ ذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ االْأَ صْنَا فِ فَبِيْعُوْاكَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. (رواه سلم)

“Dan dari Ubadah bin Shamid RA menceritakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu hendak menukarkan/menjual belikan emas, perak, biji gandum halus dengan biji gandum halus, biji gandum kasar dengan biji gandum kasar, maka buah kurma dengan buah kurma, dan garam dengan garam, maka haruslah sama rupanya, sama ukurannya, dan timbang terima (berhadapan muka), tetapi jika berlainan macamnya, maka berjual belilah menurut sukamu, asalkan timbang terima”.

            Jadi, jika kualitas yang diperjual belikan sama, maka tidak boleh melebihkan atau mengurangkan salah satunya, maka lebihnya itu adalah riba. Harus bertemu antara penjual dan pembeli adalah ukuran maksimal yang paling baik, sehingga tidak mungkin terjadi masalah sampingannya.

وَعَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّ هَبُ بِالذَّ هَبِ وَزْ نًا بِوَزْنِ مِثْلاُ بِمِثْلِ, وَلْفِضَّةُ بِا لْفِضَّةِ وَزْنًابِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ, فَمَنْ زَا دَ أَوِاسْتَزَا دَ فَهُوَرِبًا. (رواه سلم)

“Dan dari Abu Hurairah RA menceritakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “penukaran emas dengan emas harus setimbang dan serupa benar-benar, penukaran perak dengan perak harus setimbang dan benar-benar! Siapa yang yang menambah atau minta tambahannya, maka ia berbuat Riba.

            Yang dinamakan riba yaitu jika disyaratkan dalam akadnya, tetapi jika yang seorang menambah atau mengurangi penerimaannya dengan suka rela, maka tidak termasuk riba, malah dianjurkan agar demikian.

2.      Jenis-jenis Riba

            Secara garis besar, riba dibagi menjad 2. Massing-masingnya adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama tebagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua (riba jual beli) terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.

1.      Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang.

2.      Riba Jahiliyyah

Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.


3.      Riba Fadhl

Pertukaran antar barang sejenis dengan takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi

4.      Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan,atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian[2]


3.      Riba dan Bunga

Larangan Al-Qur’an terhadap pengambilan al-Riba adalah jelas dan pasti. Sepanjang pengetahuan tidak seorang pun mempermasalahkannya. Tetapi pertentangan yang timbul adalah mengenai perbedaan antara riba dengan bunga. Salah satu mahzab pemikiran percaya bahwa apa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Sementara satu mahzab pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan antara riba dan bunga.[3]

Al-Qur’an dan As-Sunnah, dua sumber pokok hukum Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (QS. Al-Muzammil dan QS. Al-Baqarah). Tetapiada beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah Riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an karena hukum ini hanya mengacu pada riba yaitu yang dipinjam bukan untuk produksi di masa pra Islam. Pada masa itu orang yang tidak mengenal pinjaman produksi dan pengaruhnya pada perkembangan ekonomi. Dalam hal ini, mereka yang mengajukan teori bunga tampaknya mengabaikan Al-Qur’an, yang merupakan firman Allah terakhir sebagai pedoman manusia. Al-Qur’an adalah undang-undang segala zaman, dan ma’rifat Tuhan yang terwujud padanya tidak dapat digantikan oleh praktek ekonomi bunga pada pinjaman produksi yang diketahui zaman ini, atau zaman lainnya. Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis. Menyebut riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga dalah suatu tambahan modal yang dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun perarturan hukum Islam.

Sebetulnya, tidak ada perbedaan antara bunga dan riba.islam dengan tegas melarang semua bunga maupun hebat, dan meyakinkannya nama yang diberikan padanya. Tetapi dalam ekonomi kapitalis bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan. Dikemukakan bahwa tanpa bunga, sistem perbankan tanpa nyawa , dan seluruh ekonomi  akan lumpuh. Sedangkan Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dapat dibuktikan bahwa konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari pada perbankan modern. Pad taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali tidak ada hubungannya dengan volume pengaruh menabung. Dalam hubungan ini baiklah dicatat pandangan klasik dan Keynesian tentang serta bunga.[4]

4.      Jenis Barang Ribawi

Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang inti nya bahwa barang ribawi meliputi:

1.      Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain nya;

2.      Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang-barang ribawi dapat di uraikan sebagai berikut.

1.      Jual beli antar barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut harus di serah kan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendak lah Rp.5.000,00 dengan Rp.5.000,00 dan di serah kan ketika tukar-menukar.

2.      Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis di perboleh kan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang di serah kan pada saat akad jual beli. Misalnya, Rp.5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.

3.      Jual beli barang ribawi dengan yang bukan barang ribawi tidak di syaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk di serahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.

4.      Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad. Misalnya pakaian dengan barang elektronik.


5.      Larangan Riba Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah

Larangan supaya umat islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw.

1.      Larangan riba dalam al-Qur’an


وَمَاءَاتَيْتُمْ مِّن رِّبًا لّيَرْبُوَاْ فِى أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَيَرْبُواْعِنْدَالله ,وَمَاءَاتَيْتُم مِّنْ زَكَوَةٍ تُرِيْدُونَ وَجْهُ اللّهِ فَأُ وْلَئِكَ هُمُ المُضْعِفُونَ

“ Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian ) itu lah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) .”(ar-Ruum:39)


يَأَيُّهَا الَّذِ ينَءَامَنُوالاَتَأْ كُلُواْالرِّبَوَاْأَضْعَفًا مُّضَعَفَةً ,وَاتَّقُوْااللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”(Ali-Imron:130)


2.      Larangan Riba Dalam Hadist

Pelarangan riba dalam islam tidak hanya merujuk pada al qur’an saja, melainkan juga terdapat al hadist:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللّهِ صَلىَّ اللّه عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُؤْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَ يْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

  “Jabir berkata bahwa Rasulallah SAW. Mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,:”mereka itu semuanya sama.” (HR Muslim no.2995,kitab al-Masaqqah)


رَوَى الْحَاكِمُ عَنِ ابْن مَسْعُوْ دأَنَّ النَّبِيَّ قَال: الرِّبَا ثُلاَ ثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابً اأَيْسَرُهَامِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمّهُ

“Al hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa nabi SAW.bersabda, “riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan); yang paling rendah (dosa nya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”


Ancaman  bagi Pelaku Riba

Di dalam Al-Qur’an telah disebutkan sebelumnya, larangan riba ini secara bertahap. Dalam hadis yang akan dibahas di bawah ini, larangan riba bukan hanya ditujukan kepada orang yang memungut riba, tetpi kepada semua pihak yang terkait dalam transaksi yang membantu terlaksananya transaksi riba tersebut. Hal itu dapat dilihat dalam hadis berikut:

عن ابن مسعود قال لعن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم اكل الرّبا ومؤكله وشاهديه وكاتبه

“Ibn Mas’ud menyatakan Rasulullah Saw. Melaknat orang yang memakan riba, orang yang dipungut riba darinya, juru tulisnya, dan orang yang menjadi saksi. Dalam hadis yang diterima dari Jabir ada kata هم سواء  (mereka semua sama saja).


Ada perbedaan redaksi dalam hadis lain, yang diriwayatkan al-Nasa’i:

اكل الرّبا ومؤكله وشاهديه وكاتبهاذا علموا ذلكملعونون على لسان رسول الله صلّى عليه وسلّم يوم القيا مة

Dengan penambahan kata tersebut memberikan pemahaman bahwa semua orang yang terlibat dalam transaksi riba mendapatkan ancaman yang sama, baik yang memungut riba, yang memberikan, yang jadi saksi dan penulis.

Meskipun ayat dan hadis tentang pengharaman riba sudah sangat jelas, tetapi pelarangan memakan riba tidak akan efisien jika larangan itu hanya ditujukan kepada orang yang menarik riba dari orang lain saja. Di dalam surat Al-Baqarah [2]:275, secara tegas Allah mengungkapakan jual beli secara vis a vis dengan riba. Di samping itu, solusi yang diberikan Islam untuk menghapus riba dengan menyuburkan sedekah seperti yang dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 276. Untuk merealisasikan ketentuan tersebut dalam ayat, maka ketentuan dalam hadis diatas perlu diperhatikan.

Dalam hadis diatas, dinyatakan bahwa laknat Rasulullah Saw., diperuntukkan kepada semua orang yang terlibat dalam transaksi riba. Mereka yang mendapatkan laknat adalah orang yang memungut riba, yaitu orang-orang yang mencari keuntungan dengan cara melebihkan sesuatu dari yang seharusnya. Larangan ini diberikan agar orang yang memberikan pinjaman atau penjual tidak memperlakukan orang yang membutuhkan bantuannya dengan sesuka hatinya dan tidak membuat orang lain terpaksa harus mengikuti persyaratan yang diberikannya.

Larangan juga ditunjukkan kepada orang yang membayar atau pihak yang harus memberikan tambahan dari yang sebenarnya (biasanya banyak terjadi dalam masalah utang, atau jual beli dengan pembayaran yang tidak tunai). Apabila pihak yang membayar tidak mau melakukan transaksi yang ada unsur riba tersebut, maka kegiatan riba itu tidak akan terjadi. Karena itu, mereka secara bersama-sama ikut membuat terwujudnya transaksi yang diharamkan. Mereka mendapatkan ancman hukuman yang sama, meskipun secara realitas, biasanya yang disebutkan terakhir (orang yang harus membayar tambahan dari utang) dalam posisi yang tidak menguntungkan dan mereka melakukan dalam keadaan yang terpaksa

Dengan ancaman tersebut, posisi peminjam sangat tidak menguntungkan dibandingkan dengan para pemberi pinjaman, peminjam dituntut untuk membayar lebih dari pinjaman. Jika transaksi riba dilakukannya, disamping ia harus membayar lebih, mungkin akan mendapatkan celaan, hinaan dari kreditur, bahkan ia juga akan mendapatkan laknat Rasulullah Saw. Oleh karena itu, transaksi yang mengandung riba bukan merupakan soluis yang menyelesaikan masalah, tetapi perbuatan yang mengundang permasalahan. Tindakan yang diambil tidak boleh dengan jalan menghalakan sesuatu yang telah jelas keharamannya. Banyak alternatif lain yang dapat ditempuh, meskipun kadang agak sulit dan memerlukan upaya sungguh-sungguh. Apabila tidak ada yang mau membayar lebih dari utang, maka tidak akan ada dan tidak akan terjadi transaksi.

Larangan juga ditujukan kepada juru tulis dan dua orang saksi dalam praktek riba. Adanya kelompok ini, karena dalam Islam seperti yang dilansir dalan QS. Al-Baqarah [2]: 282, setiap utang piutang harus ditulis dan disaksikan oleh dua orang saksi. Juru tulis dan saksi dengan demikian, merupakan orang yang membantu terlaksananya transaksi yang mengandung unsur riba tersebut. Semua orang yang terlibat dalam transaksi riba dianggap sama, karena dalam praktiknya, transaksi itu tidak akan terjadi jika pihak-pihak itu tidak membantu. Berkatan dengan juru tulis dan saksi ini, tidak berlaku umum dan mutlak, karena kadang-kadang mereka dimintai untuk membantu proses transaksi yang dilakukan secara jelas dan rinci. Oleh sebab itu, ancaman akan mendapat laknat Rasulullah hanya ditunjukkan kepada mereka yang mengetahui bahwa transaksi yang dilakukan adalah transaksi riba atau yang mengandung riba.

Oleh sebab itu, agar larangan riba dapat dipatuhi, tetapi juga dalam jual beli dan tukar menukar. Hal itu terlihat dari semua kegiatan yang biasa antara pencarian keuntungan dengan pemberian bantuan. Islam tegas kalau mau mnenolong harus ada imbalan yang ditentuan. Kalau mau berbisnis mencari keuntungan harus jelas bisnisnya yang memang bertujuan untuk mencari profit. Bentuk transaksi yang dipraktikkan oleh masyarakat saat ini bisa saja ada yang mengandung riba.


Dari uraian di atas dapat disimpulakn bahwa:

1.      Riba hukumnya haram, oleh sebab itu semua orang dilarang melakukannya.

2.      Larangan dan ancaman riba ditunjukkan kepada semuat orang yang melakukan dan yang terlibat dalam transaksi riba tersebut, termasuk pemberi, saksi dan sekretaris yang membantu dalam transaksi yang mengandung riba.

3.      Ancaman kepada pemberi riba, saksi dan sekretaris dalam transaksi riba, karena dengan ikutnya mereka dapat melestarikan praktik riba dalanm masyarakat.


6.       Riba dalam Jual Beli

Riba biasanya dipahami sebagai transaksi terkait dengan utang piutang, akan tetapi ketika ditelusuri hadis-hadis Rasulullah riba ternyata juga ada pada transaksi jual beli atau tukar menukar. Ada banyak hadis terkait masalah jual-beli yang mengandung unsur riba, namun dalam pembahasan ini hanya akan mengupas masalah jual beli dua harga dan jual beli mata uang secara tidak tunai saat ini sangat banyak dipraktekan di masyarakat.

1.      Jual Beli Dua Harga

Dalam perkembangan perekonomian belakangan ini, terdapat berbagai cara pedagang untuk menarik konsumen. Salah satunya adalah dengan memberikan alternatif pembayaran yang mempunyai implikasi pada harga jual. Masa sekarang sering terlihat di toko-toko, misalnya ada tawaran untuk membayar secara cash atau kredit. Biasanya harga jual kredit jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga tunai.

Dilihat dari praktik yang ada, penawaran yang dilakukan dengan harga berbeda karena berbeda waktu pelunasannya, banyak yang menganggap bahwa hal itu dapat diterima karena kurs uang setiap saat akan berbeda. Namun, di sisi lain sepertinya perbedaan harga barang dengan penawaran yang beda pada saat yang sama, menimbulkan ekses ketika pembayaran. Hal itu disebabkan karena konsumen mengetahui dengan pastu bahwa pembayaran secara kredit, harga jual akhir dapat mencapai 2x bahkan 3x lipat harga tunai. Kenyataan ini, bagi orang yang tidak mempunyai dana tunai merupakan satu-satunya pilihan agar dapat memiliki barang yang diinginkan.

Islam memberikan aturan yang jelas dan tegas untuk mengatasi hal tersebut dengan hadis Rasulullah Saw., berikut:

عن ابي هريرة قال نهى رسل الله صلى الله عليه وسلّم عن بيعتين في بيعة

“Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw. Melarang jual beli dua harga”

Harga merupakan unsur yang harus ada dan harus jelas dalam suatu jual beli. Persyaratan harga tersebut harus jelas untuk suatu barang yang dijual. Untuk satu barang dengan kualitas dan kuantitas yang sama harusnya mempunyai harga yang sama pula. Dalam hadis di atas terlihat bahwa Rasulullah Saw., melarang jual beli satu jenis barang dengan dua harga.

Penafsiran yang diberikan oleh para ilmuwan tentang jual beli dengan dua harga itu adalah misalnya dengan menjual suatu barang secara tunai Rp10.000, dan secara kredit Rp20.000. Hal ini menunjukkan bahwa harga barangnya tidak jelas, karena harga pada satu kondisi berbeda dengan kondisi lainnya. Salah satunya lebih mahal dan lainnya lebih murah.

Dalam praktiknya, bentuk jual beli dua harga itu dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu:

a.       Penjual mengatakan harga barang itu jika dibayar tunai sekian rupiah dan jika dibayar dengan cicilan sekian rupiah, silahkan anda mau memilih yang mana.

b.      Penjual mengatakan:   Saya akan menjual barang saya dengan syarat Anda menjual barang Anda dengan seharga demikian.

Jika menjual realitas perdagangan yang ada pada saat ini bentuk jual beli dua harga yang sering ditawarkan oleh penjual adalah dalam bentuk pertama. Di berbagai toko ada penawaran barang yang dijual dengan harga sekian rupiah tunai dan harga sekian rupiah dalam waktu sekian tahun.. sedangkan dalam bentuk kedua tidak terlalu populer. Bentuk kedua ini lebih pada bentuk barter.

Dilihat dari segi psikologis, perbedaan harga itu akan membawa kepada adanya rasa keterpaksaan yang sedih atau kecewa bagi orang yang ekonominya kurang untuk membeli secra kredit, karena tidak mampu untuk membeli secara tunai. Walaupun ia harus membayar dengan harga yang lebih tinggi. Apalagi jika yang bersangkuatan mengetahui bahwa jika dengan pembayaran tunai ia dapat membeli dengan harga yang lebih murah.

Larangan yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Menunjukkan bahwa dalam melakukan transaksi tidak boleh dengan dua harga.. hal itu dikarenakan tidak adanya harga standar terhadap barang yang dijual. Meskipun jika dilihat dari waktu pembayaran berjangka, akan mengalami nilai uang yang tidak sama. Malah dengan fluktuasi mata uang yang sangat tinggi, akhir-akhir ini pembeli malah lebih memilih pembayaran dengan cicilan, meskipun dengan harga yang lebih tinggi, karena akan lebih menguntungkan bagi pembeli.

Namun, jika dikaitkan dengan hadis lain dibawah ini:

عن ابي هريرة قال قال النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم من باع بيعتين في بيعة فله اوكسهما اوالرّبا

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. Bersabda: Siapa yang melakukan jual beli dengan dua harga, maka ia harus memilih harga terendah atau riba.”

Dengan memerhatikan hadis yang disebutkan terakhir ini, sepertinya hal ini memberikan penjelasan terhadap hasil hadis yang disebutkan sebelumnya. Karena dalam hadis terakhir ini memberikan kriteria jual beli dua harga, yaitu satu barang memiliki harta ganda, ada yang lebih murah dari yang lain. Harga yang rendah diperuntukkan kepada pembeli yang membayar secara tunai, sementara harga yang lebih tinggi diperuntukkan kepada pembeli yang membayar angsuran dalam waktu tertentu.

Dalam hadis terakhir, secara jelas Rasulullah Saw. Memberikan tuntunan bagi orang yang tidak mengindahkan larangan tersebut dan masih tetap melakukan jual beli dua harga tersebut. Alternatif yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Adalah:

a.       Penjual harus mengambil harga yang terendah yang ditawarkannya, yaitu harga tunai, dengan pembayaran tunaiatau kalau mau penjual memberikan kemudahan kepada pembeli dengan sistem pembayaran kredit.

b.      Pilihan kedua, jika penjual tidak mengambil harga terendah atau dengan mengambil harga yang lebih tinggi, maka kelebihan harga kredit dari harga tunai tersebut termasuk riba.

Alasan larangan pada bentuk pertama karena tidak tetapnya harga, dan membuka peluang praktik riba bagi orang yang hanya dapat membeli sesuatu dengan cara kredit atau cicilan, dengan cara harus membayar harga yang lebih tinggi. Sedangkan larangan pada bentu yang kedua karena dikaitkannya jual beli dengan syarat yang kan datang yang menentukan terjadi atau tidak terjadinya jual beli tersebut.

Larangan melakukan jual beli dengan dua harga diikuti oelh konsekuensi logis yang harus dipilih oleh pelaku bisnis jika tetap melakukan jual beli dengan dua harga. Dengan art, jika larangan masih dilanggar, maka Islam hanya memberikan dua alternatif, yaitu penjual harus memilih harga terendah dari dua harga yang ditawarkan, yaitu harga tunai. Meskipun cara pelunasannya dengan mencicil. Agaknya aturan ini untuk menjaga agar pihak yang tidak mampu merasa terpaksa harus membeli dengan harga yang lebih tinggi karena tidak punya uang cash.

Pilihan kedua, penjual yang bertahan dan memutuskan untuk memilih harga yang lebih tinggi dari dua harga tawarannya, berarti penjual telah melakukan praktik riba, yang tegas-tegas dilarang oleh Allah dan Rasulullah Saw.

Penafsiran lain dari ketentuan dalam hadis adalah yang disebutkan oleh Ahmad Syafi’i yang kemudian dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa haram menjual sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga sebenarnya karena dibayar secara cicil.

Dilihat dari unsur yang harus ada dalam jual beli bukan hanya dilakukan oleh orang yang tidak mampu mebeli dengan cash. Bahkan bentuk jual beli seperti ini merupakan trend yang dilakukan oleh orang yang memiliki standar ekonomi cukup (the have), maka dalam hal ini mungkin perlu dilihat penyebabnya. Apalagi dengan fluktuasi  kurs uang yang setiap saat dapat berubah dengan sangat fluktuatif. Tuntunan Rasulullah Saw. Dalam hadis adalah:

a.       Islam melarang praktik jual beli dengan dua harga, yaitu penjual memberikan harga yang berbeda kepada pembeli yang melakukan pembayaran cash denngan pembayaran kredit.

b.      Jika proses jual beli dua harga masing dilakukan, maka penjual harus memilih harga terendah, yaitu harga cash, meski pembayarannya dengan cara cicilan. Jika penjual memilih harga tertinggi (harga kredit) berarti telah terjadi praktek riba dalam jual beli.

Pilihan yang ditawarkan Islam adalah terhindar dari riba, meski dengan tawaran atau harga terendah yang ditawarkan.


2.      Jual Beli Mata Uang

Dalam perkembangan perekonomian dewasa ini, realitas perekonomian global, jual beli mata uang sudah merupakan keniscayaan. Oleh sebab itu, kebutuhan pada mata uang asing pun meningkat, baik untuk kepentingan transaksi atau untuk menjaga fluktuasi kurs mata uang lokal. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya ttransaksi valuta asing (valas).

Penjualan mata uang bukan hanya dengan valas, akan tetapi antar mata uang pun terjadi. Misalnya, untuk mendapatkan mata uang yang baru atau nominal yang lebih kecil,pada dasarnya dapat dilakukan tukar-menukar saja. Akan tetapi, dalam kenyataannya terjadi transaksi jual beli, penjualan misalnya nominal 10.000dengan delapan atau sembilan uang dengan nominal 1000-an. Penjualan rupiah baru dengan rupiah lusuh atau pecahan yang memiliki nominalnya lebih kecil ada kelebihan dan kekurangan, seperti yang sudah dijadikan profesi oleh sebagian orang. Peluang membisniskan mata uang sejenis muncul pada saat menghadapi lebaran atau memenuhi kebutuhan para sopir untuk kembalian uang penumpang.

Untuk menjaga dan tidak terjadi kecurangan dan tidak berimplikasi merugikan pihak-pihak tertentu, Islam memberikan aturan yang sangat jelas untuk al-sharf ini. Al-sharf menurut etimologis bermakna ziyadah (tambahan) dan al-‘adl (seimbang). Sedangkan dalam istilah fiqh, al-sharf adalah: jual beli mata uang sejenis atau tidak sejenis secara tunai.

Dampak praktiknya, jual beli mata uang ini dapat berbentuk menjual mata uang sejenis, misalnya rupaih dengan rupiah, emas dengan emas, atau dolar dengan dolar. Dapat juga dalam bentuk jual beli mata uang asing atau tidak sejenis, mislanya rupiah dnegan dolar, emas dengan perak atau sebliknya.

Jual beli valas banyak terjadi sekarang ini, misalnya untuk ongkos haji yaitu membeli dolar dengan rupiah atau riyal dengan rupiah merupakan praktik sharf. Begitu juga denagn jual beli atau penukaran mata uang sejenis, yang baru dengan yang lama atau uang kertas dengan uang koin. Ada tawaran agar terhindar dari transaksi ribawi pada jual beli mata uang yang diberikan oleh Islam melalui sabda Rasulullah.


a.      Jual Beli Mata Uang Sejenis Tidak Sama dan Tidak Kontan

Untuk berbagai kepentingan, jual beli mata uang sejenis sring terjadi di masyarakat. Agar praktik jual beli mata uang ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Sebagai dasar hukum pemberlakuan jual beli mata uang ini adalah hadis Rasulullah Saw. Berikut:

عن ابي سعيد تاخدريّ انّ رسول الله صلّي الله عليه وسلّم قال لا تبيعوا الذّهب بالذّهب الا مثلا بمثل ولا تشفّوا بعضها على بعض ولا ثبعوا الورق بالورق بالورق الا مثلا بمثل ولا تشفّوا بعضها على بعض ولا تبيعوا منها غاءبا بناجز

“Dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah Saw. Bersabda: janganlah kamu memperjualbeliakan emas dengan emas kecuali sama-sama, janganlah melebihkan atau mengurangi sebagian dari yang lain. Janganlah kamu memperjualbelikan uang kertas dengan uang kertas kecuali sama-sama, janganlah melebihkan atau menguurangi sebagian dari yang lain. Janganlah kamu memperjualbelikan mata uang secara angsurang dengan tunnai.”

Aturan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Dalam transaksi jual beli selalu berangkat dan merujuk kepada prinsip dasar transaksi dalam Islam, yaitu terdapatnya unsur kerelaan hakiki bukan kerelaan semu. Sehingga tidak ada yang merasa terpaksa dan harus menerima kehendak pihak lain.

Ketentuan yang terdapat dalam hadis, menetapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam transaksi mata uang sejenis, agar terhindar dari praktik ribawi, yaitu:

1)      Harus sama tidak boleh melebihkan yang satu dari yang lain, meskipun beda kualitas atau beda model cetakannya.

2)      Harus dilakukan secara tunai tidak dengan kredit atau angsuran, atau dibayar dibelakang.

Menurut ketentuan pertama, jika mata uang yang diperjualbelikan sama, maka nominalnya juga harus sama, meskipun dalam pecahan atau cetakan yang beda. Dengan hal itu lebih jelas dan eksplisit disampaikan Rasulullah Saw. Bahwa emas dengan emas,  perak dengan perak sama timbanagnnya dan sama ukuran. Siapa yang menambahkannya dan minta ditambahkan maka riba.

Berdasarkan ketentuan ini, semua praktik yang memperjualbelikan rupiah dengan rupiah, misalnya 1(satu) pecahan 10.000-an dengan 8(delapan) pecahan ribuan, atau 10(sepuluh) pecahan 1000-an lusuh dengan 8(delapan) lembar 1000-an baru, tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Transaksi semacam ini tidak sah menurut Islam karena ada riba.

Praktik semacam ini juga pernah terjadi pada masa Nabi Saw., akan tetapi Nabi Saw. Mengoreksi dan langsung melarang praktik tersebut. Seperti jual beli yang dilakukan oleh sahabat dengan menjual auqiyah emas dengan dua dan tiga dinar kepada orang Yahudi. Ketika Rasulullah Saw. Mengetahuinya, beliau melarang praktik tersebut, dan menyatakan harus seimbang. Sudah jelas bahwa riba erupakan praktik yang dengan sangat tegas dilarang oleh Islam.


b.      Jual Beli Mata Uang Asing Tidak Kontan

Sama halnya dengan jual beli mata uang sejenis, tidak dapat dihindari dalam kegiatan ekonomi sekarang ini juga mata uang tidak sejenis. Jual beli mata uang pada saat ini merupakan suatu keniscayaan, misalnya untuk melakukan transaksi dengan rekanan dari luar negeri. Contoh konkret ketika pembayaran ongkos pesawat denngan dolar da riyal untuk livingcost jamaah yang menjalankan ibadah haji. Umat Islam di Indonesia, harus membayar biaya perjalanan haji dengan menggunakan kurs dolar. Rupiah yang dibayarkan disesuaikan denganharga dolar pada saat itu. Pemerintah dengan ketentuan dengan hasil komitmen dengan pihak penerbangan dan juga dengan pemondokan, akhirnya memberikan patokan harga dengan dolar atau riyal.

Begitu juga dalam kehidupan perbisnisan, transaksi mata uang tidak dapat dihindarkan, baik untuk kepentingan perdaganan atau untuk sewa. Namun hal itu, dalam dunia bisnis praktik tersebut bukan merupakan hal baru, karena sejak zaman Nabi Saw., jual beli mata uang tersebut telah dipraktikkan oleh sahabat. Agar terhindar dari praktik ribawi dalam jual beli mata uang tidak sejenis dapat diperhatikan terjemahan hadis Rasulullah berikut:

“Rasulullah memerintahkan memperjualbelikan emas dengan perak semau kami asalkan kontan.”

Dalam penjualan mata uang tidak sejenis juga ada hadis yang secara eksplisit menjelaskan reaksi ‘Umar ketika mengetahui ada transaksi mata uang tidak sejenis yang tidak dibayar tunai, Umar menyatakan: ‘Demi Allah, dia tak boleh berpisah kecuali sampai dia mendatangkan uang tersebut. Karena Rasulullah Saw., bersabda:’ Menjual emas dengan perak  akan mengandung riba kecuali bila kontan.’

Dalam praktiknya, untuk menghindari penyimpangan dari ketentuan syariah, maka transaksi dan perdagangan valura asing harus terbebas dari unsur riba, maysir (spekulasi gambling) dan garar(ketidakjelasan, manipulasi dan penipuan). Oleh karena itu, jual beli maupun bisnis harus dilakukan dalam secara kontan atau kategori kontan. Disamping itu, motif pertukaran mata uang dengan valuta asing tidak untuk spekulasi yang dapat menjurus kepada judi/gambling (maysir), melainkan untuk keperluan pembiayaan transaksi-transaksi yang dilakukan dengan pihak luar.

Transaksi mata uang berbeda jenis, seperti rupiah dengan dolar atau sebaliknya maka dapat diperjualbelikan sesuai dengan harga pasar dengan catatan harus efektif kontan menurut kelaziman pasar yang berlaku. Dari ketentuan ini juga dapat diketahui bahwa mata uang yang diperjualbelikan tidak sejenis, misalnya rupiah dengan dolar, maka dapat dijual sesuai dengan hasil penawaran penjual dan pembeli atau harga pasar.

Dari ketentuan kedua, dalam jual beli mata uang baik sejenis ataupun tidak sejenis harus tunai sama tunai atau terjadi penangguhan penyerahan uang maka kedua belah pihak mengikuti cara yang sama. Tentang kriteria ‘tunai’ atau ‘kontan’ dalam jual beli mata uang tidak sejenis dapat didasarkan kepada kebiasaan pasar yang berlaku, meskipun hal itu melewati beberapa jam penyelesaian karena proses teknis transaksi. Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli atau harga pasar.

Adanya ketentuan tunai agar tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Sebagai mata uang, setiap saat nilai mata uang akan mengalami perubahan. Aturan harus tukar mata uang yang sangat fluktuatif.

Jual beli mata uang yang banyak dilakukan di dunia perbankan atau perorangan, harus memerhatikan ketentuan yang telah ditetapkan secara tegas oleh Rasulullah Saw., yaitu:

1)      Apabila mata uang yang diperjualbelikan tidak sejenis, maka penjual dan pembeli dapat menjual sesuai dengan hasil penawaran atau kesepakatan antara penjual dan pembeli.

2)      Jual beli mata uang baik sejenis ataupun tidak sejenis harus dilakukan secara tunai.


7.      Cara Menghindari Riba dalam Ekonomi Islam

Pandangan tentang riba dalam era kemajuan zaman kini juga mendorong maraknya perbankan Syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung di dapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional pada umumnya. Karena, menurut sebagian pendapat bunga bank termasuk riba. Hal yang sangat mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal jadi ketika nasabah sudah menginventasikan uangnya pada bank dengan tingkat suku bunga tertentu, maka akan dapat diketahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil untuk deposannya.

Hal diatas membuktikan bahwa praktek pembungaan uang dalam berbagai bentuk transaksi saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah saw yakni riba nasi’at. Sehingga praktek pembungaan uang adalah haram.

Sebagai pengganti bunga bank, Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba antara lain:

      a.       Wadiah atau titipan uang, barang dan surat berharga atau deposito

      b.      Mudarabah adalah kerja sama antara pemlik modal dengan pelaksanaan atas dasar perjanjian profit and loss sharing

      c.       Syirkah (perseroan) adalah diamana pihak Bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan (jom ventura)

      d.      Murabahan adalah jual beli barang dengan tambahan harga ataaan.u cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur

      e.       Qard hasan (pinjaman yag baik atau benevolent loan), memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik sebagai salah satu bentuk pelayanan dan penghargaan

      f.       Menerapkan prinsip bagi hasil, hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya, maka yang dibagi adalah keuntungan dari yang di dapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Misalnya, nisbahnya dalah 60% : 40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang di dapat oleh pihak bank.

            Selain cara-cara yang telah diterapkan pada Bank Syariah, riba juga dapat dihindari dengan cara berpuasa. Mengapa demikian? Karena seseorang yang berpuasa secara benar pasti terpanggil untuk hijrah dari sistem ekonomi yang penuh dengan riba ke sistem ekonomi syariah yang penuh ridho Allah. Puasa bertujuan untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah swt dimana mereka yang bertaqwa bukan hanya mereka yang rajin shalat, zakat, atau haji, tapi juga mereka yang meninggalkan larangan Allah swt.

            Puasa bukan saja membina dan mendidik kita agar semakin taat beribadah, namun juga agar aklhak kita semakin baik. Seperti dalam muamalah akhlak dalam muamalah mengajarkan agar kita dalam kegiatan bisnis menghindari judi, penipuan, dan riba. Sangat aneh bila ada orang yang berpuasa dengan taat dan bersungguh-sungguh namun masih mempraktekan riba. Sebagai orang yang beriman yang telah melaksanakan puasa, tentunya orang itu akan meyakini dengan sesungguhnya bahwa Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan (komprehensif) manusia, termasuk masalah perekonomian. Umat Islam harus masuk ke dalam Islam ssecara utuh dan menyeluruh dan tidak sepotong-potong. Inilah yang dititahkan Allah pada surah al-Baaqarah : 208, “ Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (utuh dan totalitas) dan jangan kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh nyata bagimu”.

            Ayat  ini mewajibkan orang beriman untuk masuk ke dalam Islam secara totalitas baik dalam ibadah maupun ekonomi, politik, social, budanya, dan sebgainya. Pada masalah ekonomi, masih banyak kaum muslim yang melanggar prinsip islam yaitu ajaran ekonomi Islam. Ekonomi Islam didasarkan pada prinsip sayariah yang digali dari Al-Qur’an dan sunnah. Dalam kitab fiqih pun sangat banyak ditemukan ajaran-ajaran mu’amalah Islam. Antara lain mudharabah, murabahah, wadi’ah, dan sebagainya.


8.      Manfaat Berekonomi Tanpa Dengan Riba

            Keharusan berekonomi secara syariah ini lantaran penerapanya memiliki manfaat yang sangat besar bagi umat Islam. Pertama umat Islam bisa menjalankan agamanya dalam bidang ekonomi yang pada gilirannya menggiringnya kepada pengamalan Islam secara utuh. Kedua, menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi sayariah mendapat dua keuntungan, yaitu duniawi dan ukhiawi. Keuntungan duniawi berupa uang, keuntungan akhirat berupa pahala ibadah melalui pengamalan syariah Islam dan terhindar dari dosa riba. Ketiga, memajukan ekonomi Islam lewat lembaga keuangan syariah, berarti umat Islam berupaya mengentaskan kemiskinan.




BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Riba adalah suatu akad atau transaksi atas barang yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi objek akad atau salah satunya.

Secara garis besar, riba dibagi menjad 2. Massing-masingnya adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama tebagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua (riba jual beli) terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.

Jenis Barang Ribawi

1.      Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain nya

2.      Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Larangan Riba Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat dalam surah ar-Rum: 39, al-Imran: 130, dsb. Dan dalam hadits Muslim no.2995,kitab al-Masaqqah, dsb.

Larangan dan ancaman riba ditunjukkan kepada semuat orang yang melakukan dan yang terlibat dalam transaksi riba tersebut, termasuk pemberi, saksi dan sekretaris yang membantu dalam transaksi yang mengandung riba.




DAFTAR PUSTAKA

K.H. Kahar Masyhur, Bulughul Maram, (cet. 1), Jakarta: Rineka Cipta, Januari 1992

Dr. Muhammad syafii Antonio, M.Ec, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (cet. 1), Jakarta: Gema Insani, 2001.

M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, Yogyakarta: Amanah Bunda Sejahtera, 1997.



[1] Masyhur Kahar, Bulughul Maram, (Jakarta: Rineka Cipta) h.452

[2] Dr.Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,2001), h.41

[3] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam , (Yogyakarta: Amanah Bunda Sejahtera,1997), h. 118

[4] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam,...,h.165

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ESTIMASI PERMINTAAN

BERBAGI TEKNIK OPTIMISASI DAN PERALATAN MANAJEMEN BARU

MAKALAH SEGMENTASI PASAR AQUA