MAKALAH JUAL BELI

BAB I
PENDAHULUAN


1.  Latar belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn(الرهن). Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan.Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai.



BAB II
PEMBAHASAN


  1.      Pengertian Jual Beli
Jual beli ialah tukar-menukar suatu barang dengan barang lainnya menurut rukun dan syarat tertentu. Dalam kenyataan sehari-hari jual beli adalah penukaran barang dengan uang. Penukaran barang dengan barang tidak dapat dikatakan sebagai jual beli melainkan tukar-menukar barang. Jual beli akan terus berlangsung selama manusia hidup di dunia ini. Agar jual beli memberikan manfaat bagi penjual dan pembeli maka, masing-masing pihak harus menaati peraturan agama ( Ibrahim, 2004: 3).
Menurut Mujahidin ( 2010: 159 ) pengertian jual beli menurut para ulama adalah sebagai berikut.
Ulama Hanafiyah, memberikan pengertian jual beli adalah saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu atau tukar-menukar sesuatu yang dingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Menurut Imam Nawawi, pengertian jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik.
Menurut Abu Qudamah, pengertian jual beli adalah saling menukar harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.

1.2.      Dasar Hukum Jual Beli dalam Islam
Hukum jual beli telah ditetapkan oleh Alquran, hadits, dan ijma’. Adapun dalil Al-Quran yaitu firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah: 275:
       ...
 Artinya: ......“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....” ( QS. Al-Baqarah: 275 )
Ditempat lain, Allah SWT berfirman yang artinya:
                       
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” ( QS. An-Nissa: 29 )
Adapun hukum jual beli dalam dalil sunnah salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridha”. Ketika ditanya tentang usaha apa yang paling utama, Nabi menjawab: “Usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur”. Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada dusta atau penyamaran dalam barang yang dijual dan khianat. ( Azzam, 2010: 27 )

1.3.      Macam-macam Jual Beli yang Sah dan Tidak Sah

Menurut Shigha ( 1986: 179 ) macam-macam jual beli sebagai berikut.
1) Jual beli barang yang dapat dilihat, maka boleh.
2) Jual beli barang yang hanya menyebutkan sifat-sifatnya saja, apabila cocok, maka
     boleh.
3) Jual beli barang yang tidak dapat dilihat, maka tidak boleh.
Menurut Djamali ( 1997: 155) jual beli yang sah tetapi dilarang melakukannya adalah cara yang menimbulkan persaingan antar pihak yang tidak diizinkan.

1.4.      Rukun dan Syarat Jual Beli
Menurut Rasjid ( 2012: 279-282 ) rukun dan syarat jual beli diantaranya sebagai berikut.
A.       Penjual dan pembeli
Syaratnya adalah:
1)      Berakal, orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
2)      Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
3)      Tidak mubazir, sebab harta orang yang mubazir itu ditangan walinya
4)      Baligh (berumur 15 tahun ke atas/dewasa).

B.      Benda yang dibeli
Syaratnya adalah:
1)      Suci, barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti Anjing, Khamar Bangkai dll.
2)      Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya
3)      Barang itu tidak dapat diserahkan, tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya
4)      Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan orang yang diwakilinya, atau yang mengusahakan
5)      Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, zat, bentuk, kadar, dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh-mengecoh.

C.       Adanya akad (ijab dan qabul)
Ijab adalah perkataan penjual, dan qabul adalah ucapan si pembeli. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa ijab dan qabul sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafazh.
Menurut Ash Siddieqy (1997: 83) sifat-sifat akad diantaranya sebagai berikut.
1)      Akad diucapkan seseorang tanpa memberi syarat.
2)      Akad diucapkan seseorang dengan dikaitkan dengan sesuatu jika tidak ada kaitan maka akadpun tidak jadi.

1.5.      Khiyar dalam Jual Beli
Menurut Sahrani ( 2011: 76-78) makna khiyar berarti boleh memilih antara dua, apakah mau meneruskan juak beli atau mau mengurungkannya. Fungsi khiyar menurut syara adalah agar kedua orang berjual beli dapat memikirkan dampak positif dan negatif masing-masing. Khiyar terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.

a.       Khiyar majlis, adalah khiyar yang terjadi antara penjual dan pembeli antara melanjutkan atau membatalkan jual beli selama keduanya masih berada dalam satu tempat yang sama.
Apabila keduanya telah berpisah dari satu majlis, maka hilanglah hak khiyar majlis ini. Rasulullah SAW bersabda: Artinya: Dua orang yang berjual beli, boleh memilih (akan meneruskan jual beli atau tidak) selama keduanya belum berpisah dari tempat akad. (H.R. Bukhori dari Hakim bin Hizam)


b.      Khiyar syarat, adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang atau masing-masing orang yang melakukan akad untuk membatalkan atau menetapkan jual belinya setelah mempertimbangkan dalam 1, 2, atau 3 hari.  Setelah waktu yang ditentukan tiba, maka jual beli harus segera ditegaskan untuk dilanjutkan atau dibatalkan. Waktu khiyar syarat selama 3 hari 3 malam terhitung waktu akad. Sabda Rasulullah Muhammad SAW:
Artinya: Engkau boleh berkhiyar pada semua barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam. (H.R. Ibnu Majah dari Muhammah bin Yahya bin Hibban)

c.       Khiyar aib, adalah hak untuk memilih meneruskan atau membatalkan jual beli karena ada cacat atau kerusakan pada barang yang tidak kelihatan pada saat ijab kabul. Pada masa sekarang, untuk memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pembeli, para produsen dan penjual barang biasanya memberikan jaminan produk atau garansi. Pemberian garansi juga dimaksudkan untuk menghindari adanya kekecewaan pembeli terhadap barang yang dibelinya. Berkaitan dengan khiyar ‘aibi ini, Rasulullah SAW memberikan tuntunan dengan sabdanya :Artinya: Dari Aisyah r.a. berkata bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, terus dia angkat perkara itu dihadapan Rasulullah saw. Putusan dari beliau, budak itu dikembalikan kepada penjual (H.R. Abu Dawud)
Khiyar diperbolehkan oleh Rasulullah Muhammad SAW karena memiliki manfaat. Di antara manfaat khiyar adalah untuk menghindari adanya rasa tidak puas terhadap barang yang dibeli, menghindari penipuan, dan untuk membina ukhuwah antara penjual dan pembeli. Dengan adanya khiyar, penjual dan pembeli  merasa puas.

1.6. Membedakan jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang
Jual beli yang diperbolehkan dalam Islam adalah :
a. telah memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli
b. jenis barang yang dijual halal
c. jenis barangnya suci
d. barang yang dijual memiliki manfaat
e. atas dasar suka sama suka bukan karena paksaan
f. saling menguntungkan
Adapun bentuk-bentuk jual beli yang terlarang dalam agama Islam karena merugikan masyarakat di antaranya  sebagai berikut:
a. memperjualbelikan barang-barang yang haram
b. jual beli barang untuk mengacaukan pasar
c. jual beli barang curian
d. jual beli dengan syarat tertentu
e. jual beli yang mengandung unsur tipuan
f. jual beli barang yang belum jelas misalnya menjual ikan dalam kolam
g. jual beli barang untuk ditimbun

1.7.      Manfaat dan Hikmah Jual Beli
Menurut Ghazzaly ( 2010: 87) manfaat dan hikmah jual beli diantaranya sebagai berikut.
a.       Manfaat jual beli
1)      Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
2)      Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya masing-masing atas dasar kerelaan.
3)      Masing-masing merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan ikhlas dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dengan ikhlas dan menerima barang.
4)      Menjauhkan diri dari memakan atau memilki barang yang haram.
5)      Penjual dan pemberi mendapat rahmat dari Allah swt.
6)      Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
b.      Hikmah jual beli
Hikmah dibolehkannya jual beli adalah karena kebutuhan seseorang terhadap suatu barang tergantung pada pemilik barang tersebut, sedangkan pemilik barang tidak akan memberikan barangnya tanpa pengganti. Mengenai disyariatkannya jual beli adalah merupakan jalan sampainya masing-masing dari kedua belah pihak kepada tujuannya dan pemenuhan kebutuhannya. Diantara hikmahnya yang lain adalah melapangkan persoalan kehidupan dan tetapnya alam karena dapat meredam terjadinya perselisihan, perampokan, pencurian, pengkhianatan, dan penipuan ( As-sa’di, 2008: 147).


2.1 Pengertian Gadai
Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan Rahn. Kata rahn itu sendiri secara etimologis berarti tanggung jawab, sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla
“Tiap-tiap diri itu bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. ” (Al-Mudatsir: 38)
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jiwa seorang mukmin itu tergantung pada hutangnya sehingga dilunasi. ” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, Hakim. Hakim mengatakan, dengan syarat Bukhari dan Muslim)
Sedangkan menurut syari’at, rahn berarti menilai suatu barang dengan harga tertentu atas suatu hutang, yang dimungkinkan pembayaran hutang itu dengan mengambil sebagian dari barang tersebut.
Menurut Badrul Zaman, 1991. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si piutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Pengertian gadai juga tercantum dalam Pasal 1150 KUH Perdata. Menurut Pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah : Suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai yang harus didahulukan.

2.2. Dasar Hukum Gadai
Sebagaimana halnya dengan jual beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh juga digadaikan. Dalil yang melandasinya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah befirman:
“Dan jika kalian dalam perjalanan (dan bermu ’amalah tidak secara tunai) sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tangggungan yang dipegang. ” (Al-Baqarah: 283)
Ayat tersebut di atas bermakna bahwa Allah Subahanahu wa Ta’ala memerintahkan orang yang melakukan suatu transaksi dengan orang lain, sedang bersamanya tidak ada juru tulis, maka hendaklah dia memberikan suatu barang sebagai jaminan (gadai) kepada orang yang memberikan hutang kepadanya supaya merasa tenang dalam melepaskan uangnya tersebut. Selanjutnya hendaklah peminjam menjaga uang atau barang-barang hutangan itu agar tidak hilang atau dihamburkan tanpa ada manfaat.
Sedangkan dalam hadits lain disebutkan,
“Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, (bernama Abu Syahm) dengan tiga puluh sha’ gandum untuk keluarganya. ” (Muttafaqun ‘Alaih)
Dalam hadits di atas terdapat pengertian yang membolehkan mu’amalah dengan ahlul kitab.
Dan para ulama telah melakukan ijma’ yang membolehkan gadai.

2.3 Objek Hukum Gadai
Dewasa ini lembaga gadai masih berjalan terutama pada lembaga pegadaian. Dalam perjanjian kredit perbankan, lembaga gadai tidak begitu popular, sudah jarang ditemukan bagi benda berwujud. Akan tetapi penggunaan gadai bagi benda tidak berwujud seperti surat-surat berharga dan saham-saham mulai banyak digunakan pada beberapa bank. Peningkatan penjaminan saham terjadi seiring dengan pesatnya perkembangan bursa saham di Indonesia. Didalam praktik sering terjadi penjaminan saham yang belum dicetak (not printed) dan yang menjadi bukti yang disimpan oleh pihak bank itu bukti penjaminan sejumlah saham yang berupa resipis atau surat pemerimaan atau kuitansi saja (Djuhaendah Hasan, 1996:283).
 Pada dasarnya semua kebendaan bergerak yang berwujud dapat dijadikan sebagai jaminan pinjaman atau kredit gadai pada lembaga pegadaian. Kredit gadai adalah pemberian pinjaman (kredit) dalam jangka waktu tertentu kepada nasabah atas dasar hukum gadai dan persyaratan tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan Pegadaian.
Subyek Hukum Gadai
Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever adalah orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai adalah :
Orang atau badan hukum;
Memberikan jaminan berupa benda bergerak;
Kepada penerima gadai;
Adanya pinjaman uang;
Penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan pegadaian.
Sifat usaha dari perusahaan pegadaian ini adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Maksud dan tujuan perum ini adalah :
Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah kebawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan jasa dibidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar lainnya (Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
Usaha yang paling menonjol dilakukan oleh Perum Pegadaian adalah menyalurkan uang (kredit) berdasarkan hukum gadai. Artinya bahwa barang yang digadaikan itu harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai, sehingga barang-barang itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai. Asas ini disebut dengan asas inbezitzeteling.

2.4 Barang Yang Dapat Digadai dan Tidak Dapat Digadai
Menurut Badrul Zaman, 1991. Barang yang dapat digadaikan yaitu semua barang bergerak seperti barang-barang perhiasan, elektronik, peralatan rumah tangga, mesin, tekstil, dll. Barang yang tidak dapat digadaikan seperti barang milik pemerintah, surat-surat berharga, hewan dan tanaman, bahan makanan dan benda yang mudah busuk, benda-benda yang kotor, benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkan dari satu tempat ke tempat lain memerlukan izin, barang yang karena ukurannya yang besar maka tidak dapat disimpan digadaian, barang yang tidak tetap harganya.

2.5 Rukun Gadai
Gadai mempunyai tiga rukun, yaitu:
Akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pemilik uang dengan orang yang berhutang yang menyerahkan suatu jaminan atas pinjamannya
Ada objek (barang) yang digadai, yaitu pinjaman dan barang yang digadaikan.
Shighah.
Menurut para penganut Imam Hanafi, suatu gadai mempunyai satu rukun, yaitu ijab dan qabul, karena keduanya itulah yang merupakan akad sebenarnya

2.6 Hak Dan Kewajiban Pemegang Gadai
Menururt Badrul Zaman:
Hak pemegang gadai. Menjual gadai dengan kekuasaan sendiri dan atau dengan perantara hakim, atas izin hakim tetap menguasai benda gadai, mendapat ganti rugi, retorsi dan hak undang-undang untuk didahulukan.
Kewajiban pemegang gadai. Bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang gadai karena kelalaiannya, memberitahukan kepada pemberi gadai apabila barang gadai itu di jual dan bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai tersebut.
Kewajiban penerima gadai diatur dalam pasal 1154, 1156, d    an 1157 KUH Perd.:
menjaga barang yang digadaikan sebaik–baiknya;
tidak diperkenalkan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya, walaupun pemberigadai wanprestasi (Pasal 1154 KUH Perd.);
memberitahukan kepada pemberi gadai tentang pemindahan barang–barang gadai (Pasal 1156 KUH Perd.);
bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai, sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya (Pasal 1157 KUH Perd.)


2.7. Hak Dan Kewajiban Pemberi Gadai
menerima uang gadai dari penerima gadai;
berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah dilunasinya;
berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang–hutangnya.
menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai;
membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai;
membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang–barang gadai.




BAB  III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Jual beli ialah tukar-menukar suatu barang dengan barang lainnya menurut rukun dan syarat tertentu. Dalam kenyataan sehari-hari jual beli adalah penukaran barang dengan uang. Penukaran barang dengan barang tidak dapat dikatakan sebagai jual beli melainkan tukar-menukar barang. Jual beli akan terus berlangsung selama manusia hidup di dunia ini. Agar jual beli memberikan manfaat bagi penjual dan pembeli maka, masing-masing pihak harus menaati peraturan agama ( Ibrahim, 2004: 3). Rasulullah saw beliau bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridha”.
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si piutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan untuk penyempurnaan penyusunan makalah selanjutnya. Jika ada kesalahan atau kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon ma’af sebesar-besarnya.




DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah.Cet.I, Alfabeta. Bandung. 2011
Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, Al- Ma’arif. Bandung. 1983
As-Sa'di, Abdurrahman, dkk. 2008. Fiqih Jual-Beli. Jakarta: Senayan Publishing
Drs. Ghufron Ihsan. MA, 2008, “Fiqh Muamalat”, Jakarta :Prenada Media Grup.
Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2005
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia. Bandung. 2006
Kementerian Agama Republik Indonesia, AL-Qur’an dan Terjamahnya, (Jakarta: Pelita, 1979), h. 210

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ESTIMASI PERMINTAAN

BERBAGI TEKNIK OPTIMISASI DAN PERALATAN MANAJEMEN BARU

MAKALAH SEGMENTASI PASAR AQUA