ASBAB AN-NUZUL
“ASBAB AN-NUZUL”
![]() |
Disusun oleh :
Kelompok IV
Selviani (170202028)
Esti
Melisa (170202006)
Asharuddin (170202027)
Dosen Pembimbing : Suriyati
S.Pd.I., M.Pd.I.
Institut Agama Islam
Muhammadiyah Sinjai
Fakultas Ekonomi dan
Hukum Islam
Jurusan Ekonomi Syariah
2018
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta
Alam karena atas izin dan kehendakNya jualah makalah sederhana ini dapat kami
rampungkan tepat pada waktunya.
Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ulumul Al-Qur’an. Adapun yang kami bahas dalam makalah sederhana ini
mengenai “Asbab An Nusul”.
Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan
yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang berkenan
dengan penulisan makalah ini. Kami juga menyadari akan kemampuan kami yang
masih amatir. Sehingga kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan disana-sini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga
kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harapan kami, makalah ini dapat menjadi pelajaran dan
menjadi referensi bagi kami dan pembaca dalam mengarungi masa depan. Kami juga
berharap agar makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.
Sinjai, 20 Maret 2018
Penyusun
Daftar Isi
Sampul................................................................................................... i
Kata
Penghantar..................................................................................... ii
Daftar
Isi................................................................................................ iii
Bab I Pendahuluan................................................................................. 4
a.
Latar Belakang ................................................................... 4
b.
Rumusan Masalah ............................................................... 4
c.
Tujuan Pembahasan ............................................................ 5
Bab II Pembahasan ................................................................................ 6
a. Pengertian Asbabun Nuzul.............................................. .... 6
b. Kualitas Riwayat.............................................................. 7
c. Bentuk-bentuk Asbabun Nuzul ....................................... .... 8
d. Pembagian dan macam-macam Asbabun Nuzul ................ 10
e. Kaedah-kaedah Asbabun Nuzul....................................... .... 15
f. Apakah Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal
atau
Khususnya
Sebab? ......................................................... .... 16
g. Faedah mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam
Memahami
atau Menafsirkan Ayat dalam Al-Qur’an........ 17
Bab III Penutup...................................................................................... 19
Daftar
Pustaka........................................................................................ 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sudah menjadi keyakinan umat islam, bahwa Al-Qur’an merupakan Kitab
bimbingan hidup manusia guna mencapai kebahagiaan sejati, didunia maupun
diakhirat. Namun untuk dapat memperoleh bimbingannya, orang tidak bisa begitu
saja memahaminya. Ada seperangkat sarana atau seperangkat ilmu yang harus
digunakan untuk memahami Al-Qur’an.
Al- Qur’an juga berperan memberikan ilmu kepada manusia dengan berbagai
macam informasi tentang peristiwa yang terjadi, baik halnya yang terjadi
didunia maupun peristiwa yang terjadi diakhirat. Sebagian besar ayat-ayat
Al-Qur’an diturunkan mulanya dalam tujuan-tujuan yang umum, namun setelah itu
dengan berjalannya masa, terdapat beberapa peristiwa yang memerlukan penjelasan
syara’ atau karena para sahabat belum mengetahui, maka mereka menanyakan kepada
Rasulullah SAW. Kemudian diturunkanlah ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan
hal tersebut.
Salah satu ilmu
al-Qur’an yang sangat signifikan untuk dipelajari agar bisa memahami al-Qur’an
secara baik dan benar adalah ilmu Asbabun Nuzul ayat-ayat dalam al-Qur’an.
Dengan mengetahui Asbabun Nuzul, diharapkan, kita mampu memahami lebih rinci
tentang bagaimana menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dilihat dari aspek kejadian
dan peristiwa yang terjadi ketika turunnya ayat tersebut.
B. Rumusan Masalah
- Pengertian Asbabun Nuzul
- Kualitas Riwayat
- Bentuk-bentuk Asbabun Nuzul
- Pembagian dan macam-macam Asbabun Nuzul
- Kaedah-kaedah Asbabun Nuzul
- Apakah Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal atau Khususnya Sebab?
- Faedah mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau Menafsirkan Ayat dalam Al-Qur’an
C. Tujuan
- Mengetahui Pengertian Asbabun Nuzul
- Mengetahui Kualitas Riwayat
- Mengetahui Bentuk-bentuk Asbabun Nuzul
- Mengetahui Pembagian dan macam-macam Asbabun Nuzul
- Mengetahui Kaedah-kaedah Asbabun Nuzul
- Mengetahui Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal atau Khususnya Sebab
- Mengetahui Faedah mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau Menafsirkan Ayat dalam Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ASBABUN NUZUL[1]
1.
Pengertian
Secara bahasa Asbabun nuzul berasal
dari kata سبب جمع اسباب artinya sebab atau
karena,[2] sedangkan
نزول bentuk masdar dari نزل- ينزل yang berarti turun atau jatuh.[3]
Adapun menurut istilah, Dr. Musa
Rahim Ibrahim dalam bukunya “Buhuts
Manhajiyyah fi Ulum Al-Qur’an al-Karim”, mendefenisikan Asbabun Nuzul
yaitu:
" ما نزل قران بشاْن وقت
وقوعه كحادثه أو سوْل "
“Suatu hal yang karenanya al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status
(hukumnya), pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.[4]
Dari defenisi di atas, dapat
disimpulkan sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal:
a.
Bila terjadi
suatu peristiwa, maka turunlah ayat al-Qur’an mengenai peristiwa itu, seperti
kisah turunnya surat al-Lahab
b.
Bila Rasulullah
SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an menerangkan
hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah binti Tsa’labah dikenakan Zihar[5]
oleh suaminya, Aus bin Tsamit, hingga Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW
mengenai hukumnya, maka turun lah QS al-Mujadalah:3
Tetapi tidak semua ayat
al-Qur’an diturunkan karena timbul suatu
peristiwa atau kejadian atau karena suatu pertanyaan. Ada diantara ayat
al-Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman,
kewajiban Islam dan syari’at Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Al-Jabari menyebutkan: “al-Qur’an diturunkan dalam dua kategori: yang turun
tanpa sebab, dan turun karena suatu
peristiwa atau pertanyaan”.[6]
Para ulama sangat
memperhatikan ilmu Asbabun Nuzul ini dalam menafsirkan al-Qur’an. Oleh karena
itu, sebagian ulama menyusun ilmu ini dalam satu kitab secara khusus. Mereka
adalah Ali Ibn al-Madaniy, guru Imam Bukhari, serta ulama-ulama lainnya.
2.
Kualitas
Riwayah
Ulama
menjadikan pegangan utama untuk mengetahui Asbabun Nuzul dengan cara
berpedoman kepada keshahihan riwayat yang berasal dari Nabi SAW atau sahabat.
Kalau riwayat tersebut berasal dari sahabat mesti dengan riwayat yang jelas
dalam artian tidak boleh mengandalkan akal semata, mesti harus mempunyai hukum
marfu’ (disandarkan pada Rasulullah) Al-Wahidiy mengatakan: “tidak boleh dengan
perkataan saja dalam Asbabun Nuzul turunnya ayat, melainkan dengan
periwayatan, pendengaran lansung dari orang yang menyaksikan turunnya ayat
tersebut, karena mereka telah meneliti dan membahas dengan ilmunya sehingga
mereka mendapatkan apa yang mereka cari.[7]
Ulama salaf
sangat berhati-hati dalam menerima dan memberikan periwayatan tentang asbabun
nuzul ini, sampai Muhammad ibn Sirin mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada
‘Ubadah tentang satu ayat yang ada dalam Al-Qur’an dan ia mengatakan :
bertaqwalah kamu kepada Allah Swt, dan
berkatalah yang benar. Pergilah kepada orang-orang yang mengetahui tentang
turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu, yakni sahabat Nabi SAW.[8]
Adapun sebab
nuzul dengan hadits mursal, yaitu yang gugur dari sanadnya seorang sahabat atau
mata rantai periwatannya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat
seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan dikuatkan oleh hadits
mursal lainnya.[9]
3.
Bentuk-bentuk Asbabun
Nuzul
Bentuk-bentuk asbabun nuzul ada dua macam :
a.
Bentuk peristiwa
Sebab-sebab turun ayat yang dalam bentuk
peristiwa ada beberapa bagian :
1)
Peristiwa berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk
antara segolongan dari suku Aus dan segolongan dari Khazraj. Perselisihan itu
timbul dari intrik-intrik yang ditiupkan orang-orang Yahudi sehingga mereka
berteriak-teriak : “senjata-senjata”. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya
beberapa ayat surah Ali ‘Imran, ayat 100, sampai beberapa ayat sesudahnya. Hal
ini merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan
merangsang orang kepada sikap kasih sayang, persatuan, dan kesepakatan.
2)
Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang yang
mengimami shalat sedang mabuk sehingga tersalah membaca surah al-Kafirun. Ia
baca قل ياايها الكافرون . اعبد ما تعبدون dengan tanpa لا pada لااعبد peristiwa ini menyebabkan turun ayat :
يا ايها الذين امنوا لا تقربوا الصلوة وانتم سكارى
حتى تعلموا ما تقولون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
hampiri sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan… (QS. AL-Nisa : 42)
3)
Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan, seperti persesuaian-persesuaian
khalifah Umar bin khaththab dengan ketentuan-ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam sejarah ada beberapa harapan Umar yang dikemukakan kepada Nabi Muhammad
SAW, kemudian turun ayat-ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan-harapan
Umar tersebut. Sebagai contoh, Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari
Anas r.a. bahwa Umar berkata: “ aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal : Aku
katakan kepada Rasul, bagaimana sekiranya kita jadikan maqam Ibrahim sebagai
tempat shalat,maka turunlah ayat :
واتخذ
من مقام ابراهيم مصلى
Dan aku katakan kepada Rasul, sesungguhnya
istri-istri engkau masuk kepada mereka itu orang yang baik-baik dan orang yang
jahat, maka bagaimana sekiranya Engkau perintahkan mereka agar bertabir, maka
turunlah ayat hijab ( QS Al-Ahzab : 53), aku katakan juga kepada mereka عسى ربه ان طلقكن أن يبد له أجوجا خيرمنكن “(jika Nabi
menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan
istri-istri yang lebih baik dari kamu)”, maka turunlah ayat yang serupa dengan
itu pada surat Al-Tahrim ayat 5.[10]
b.
Bentuk pertanyaan.
Adapun sebab turun ayat yang dalam bentuk
pertanyaan dapat dikelompokkan kepada tiga macam :
1. Pertanyaan yang berhubungan
dengan sesuatu yang telah berlalu,
seperti ayat :
ويسالونك عن ذى القرنين
“Mereka bertanya kepadamu tentang Zul Karnain
2.
Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlansung pada waktu
itu, seperti ayat :
ويسألونك عن الروح. قل
الروح من أمر ربي وما اوتيتم من العلم الا قليلا.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh,
katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu kecuali
yang sedikit”
3.
Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti ayat:
يسألونك
عن الساعة ايان مرساها
“Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat,”Bila
terjadinya?”.[11]
4.
Pembagian Dan
Macam-Macam Asbabun Nuzul
Asbabun
nuzul bisa
ditinjau dari berbagai aspek. Jika ditinjau dari aspek bentuknya, sabab
al-nuzul dapat dibagi kepada dua bentuk, seperti telah diterangkan
sebelumnya, yang pertama berbentuk peristiwa dan yang kedua berbentuk
pertanyaan. Sabab al-nuzul yang berbentuk peristiwa ada tiga macam,
pertengkaran, kesalahan yang serius, dan cita-cita dan harapan. Sabab
al-nuzul yang berbentuk pertanyaan dapat pula dibagi kepada tiga macam,
yaitu pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang berlansung, dan masa yang
akan datang.
Dari
segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab al-nuzul dapat dibagi
kepada ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari
satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang
turun satu) dan ta’adud al-nazil wa al-sabab wahid (inti persoalan yang
terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang
sebab turunnya satu).
Jika
ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing
menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya,
maka riwayat itu perlu diteliti dan di analisis. Permasalahannya ada empat
bentuk :
1. Salah satu dari keduanya riwayat shahih dan yang
lain tidak, maka
diselesaikan
dengan jalan memperpegangi riwayat yang shahih dan menolak riwayat yang tidak
shahih. Misalnya, perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhari, Muslim, dan
lainnya dari satu pihak dan riwayat Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah di pihak
lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari Jundub. Ia (Jundub)
berkata : “Nabi SAW kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua malam.
Seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat
setanmu kecuali telah meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan :
والضحى
. واليل اذا سجى . ما ودعك ربك وما قلى
Al-Thabrani
dan Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafs Ibn Maisarah dari ibunya, dari
ibunya (neneknya dari ibu) dan ibunya itu pembantu Rasul SAW: “Sesungguhnya
seekor anak anjing memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah
tempat tidur dan mati, maka selama empat hari Nabi SAW tidak dituruni wahyu.
Maka ia (Nabi) berkata: “Hai Khaulah, apa yang telah terjadi dirumah
Rasulullah? Jibril tidak datang kepadaku”. Saya berkata pada diri saya sendiri:
Sekiranyalah engkau persiapkan rumah ini dan engkau sapu, maka saya jangkaukan
penyapu ke bawah tempat tidur itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut.
Nabi SAW pun datang dalam keadaan jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun
(wahyu) kepadanya ia menjadi gemetar”. Maka Allah menurunkanوالضحى hingga firman-Nyaفترضى
Dalam hal
demikian menurut Al-Zarqani, kita mendahulukan riwayat yang pertama dalam
menerangkan sebab turunnya ayat tersebut, karena keshahihan riwayatnya dan
tidak riwayat yang kedua. Sebab dalam sanad riwayat yang kedua terdapat periwayat yang tidak dikenal.
2. Bila kedua riwayat itu shahih, namun salah
satunya mempunyai
penguat
(murajjih) dan yang lain tidak, maka penyelesaiannya adalah mengambil
riwayat yang mempunyai penguat. Misalnya, hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari
dari Ibn Mas’ud. Ia berkata: “Saya berjalan bersama Nabi SAW di Madinah dan ia
(Nabi) bertongkat pelepah korma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka
berkata kepada sebagian mereka: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata:
“Ceritakan kepada kami tentang ruh”, Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia
mengangkat kepalanya. Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu
itu naik. Kemudian ia berkata:
قل
الروح من امر ربى وما اوتيتم من العلم الا قليلا
Dalam
hubungan ayat yang sama, Al-Tirmizi meriwayatkan hadits yang dishahihkan dari
Ibn Abbas. Ia berkata: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi,
“ Berikan kepada kami sesuatu yang akan kami pertanyakan kepada orang ini
(Nabi)”. Mereka berkata: “Kamu tanyakanlah kepadanya tentang ruh”; merekapun
menanyakannya, maka Allah menurunkan:
ويسالونك
عن الروح
Menurut
Al-Suyuthi dan Al-Zarqani, riwayat yang kedua ini menunjukkan bahwa ayat
tersebut turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah pertanyaan kaum Quraisy.
Sedangkan riwayat pertama jelas menunjukkan turunnya di Madinah karena sebab
turunnya adalah pertanyaan orang Yahudi. Riwayat yang pertama ini lebih kuat
dari yang kedua. Yang pertama adalah riwayat Al-Bukhari dan yang kedua riwayat
Al-Tirmizi. Telah menjadi ketentuan bahwa riwayat Al-Bukhari lebih shahih dari
riwayat yang lainnya. Kemudian, periwayat pertama, Ibn Mas’ud menyaksikan kisah
turun ayat tersebut, sedangkan periwayat hadits kedua tidak demikian. Orang
yang menyaksikan tentu mempunyai kekuatan yang lebih dalam penerimaan dan
penyampaian riwayat dari pada orang yang tidak menyaksikannya. Karena itu,
riwayat yang pertama diamalkan dan riwayat yang kedua ditinggalkan.
3. Keshahihan dua riwayat itu sama dan tidak
ditemukan penguat
(murajjih)
bagi salah satu keduanya. Akan tetapi keduanya dapat dikompromikan. Kedua sebab
itu benar terjadi dan ayat turun mengiringi peristiwa tersebut benar, karena
masa keduanya berhampiran. Maka penyelesaiannya adalah dengan menganggap
terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut. Ibn Hajar berkata: “
Tidak ada halangan bagi terjadinya ta’addud al-sabab (sebab ganda)
Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dari jalan Ikrimah dari Ibn Abbas, bahwa Hilal Ibn Umayyah menuduh
istrinya berbuat mesum, disisi Nabi dengan Syarik Ibn Samha. Nabi berkata:
“Buktikan atau hukuman atas pundakmu”. Ia berkata : “Hai Rasulullah jika
seseorang dari kami mendapati seorang laki-laki bersama isterinya dia harus
pergi mencari bukti?”, maka Jibril pun turun dan menurunkan kepada Nabi :
والذين
يرمون ازواجهم ولم يكن لهم شهداء الا انفسهم, الى قوله.... ان كان من
الصادقين (النور : 6)
Sementara itu, Al-bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Sahl Ibn Sa’d, bahwa Uwaimir datang kepada Ashim Ibn
Adiy yang adalah pemimpin bani ‘Ajlan seraya berkata: Bagaimana pendapatmu
tentang seseorang yang menemukan istrinya bersama laki-laki lain. Apakah ia
bunuh laki-laki itu, maka ia pun membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak?
Tanyakanlah untuk saya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan
kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Uwaimir pergi
menanyakannya lansung kepada Rasul. Rasul berkata: “ Allah telah menurunkan
Al-Qur’an tentang engkau dan temanmu (istrimu). Rasul memerintahkan keduanya
melakukan mula’anah[12][12] sehingga Uwaimir melakukan li’an terhadap
istrinya.
Kedua riwayat ini shahih dan tidak
ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya. Dalam pada
itu, tidak terdapat kesulitan untuk menjadikan kedua-duanya sebagai sebab turun
ayat tersebut karena waktu peristiwa berhampiran.
4. Keadaan dua riwayat itu shahih, tidak ada penguat
(murajjih) bagi salah satu keduanya atas yang lainnya, dan tidak pula
mungkin menjadikan keduanya sekaligus sebagai asbab al-nuzul karena
waktu peristiwanya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah dengan
menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak asbab al-nuzulnya.
Misalnya
ialah hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa
Nabi SAW. Berdiri dekat Hamzah ketika gugur menjadi syahid dan tubuhnya
dicincang. Nabi berkata: “ sungguh saya akan cincang tujuh puluh orang dari
mereka sebagai penggantimu”. Jibril pun turun dengan membawa tiga ayat dari
akhir surah al-Nahl:
وان عا
قبتم فعا قبوا بمثل ماعوقبتم به
Sementara
itu, Al-Tirmizi dan Al-Hakim meriwayatkan dari Ubaiy Ibn Ka’ab. Ia berkata :
“Takkala pada perang Uhud jatuh korban dari kaum Anshar 64 orang dan dari kaum
Muhajirin 6 orang termasuk Hamzah, mereka teraniaya, maka kaum Anshar berkata:
“Jika kita dapat mengalahkan mereka pada suatu hari seperti ini, kita akan
melebihkan (jumlah korban) mereka
nanti”. Pada ketika penaklukan Mekkah, Allah menurunkan ayat :
وان عا
قبتم
Riwayat pertama menunjukkan bahwa ayat tersebut
turun pada perang Uhud dan riwayat kedua menunjukkan turunnya pada penaklukan
Mekkah. Sedangkan jarak waktu antara dua peristiwa tersebut beberapa tahun.
Karena itu sulit diterima akal bahwa ayat itu turun satu kali mengiringi dua
peristiwa itu sekaligus. Berdasarkan hal yang demikian, tidak ada jalan keluar
selain dengan mengatakan turunnya berulang-ulang, sekali pada perang Uhud, dan
sekali pada penaklukan Mekkah
Inilah
empat bentuk permasalahan dan pemecahannya ketika terjadi ta’addud al-sabab
wa al-nazil wahid, yaitu riwayat tentang sebab turun ayat lebih dari satu
riwayat sedang ayat yang turun satu atau beberapa ayat yang turun serempak.
Adapun jika sebaliknya, yaitu ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ayat
yang turun berbeda dan sababnya tunggal atau sama), maka hal yang demikian
tidak menjadi masalah. Hal demikian tidak bertentangan dengan hikmah untuk
meyakinkan manusia dan menjelaskan kebenaran. Bahkan, cara yang demikian bisa
lebih efektif.[13]
4. Ungkapan Ungkapan Asbabun Nuzul.
Ungkapan-ungkapan
yang digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu beberapa bentuk sebagai
berikut :
a.
Sabab al-Nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas, seperti :سبب نزول هذه الاية كذا (Sebab
turun ayat ini demikian). Ungkapan ini secara definitif menunjukkan sabab
al-nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.
b.
Sabab al-Nuzul tidak ditujukan dengan lafal sabab, tetapi dengan
mendatangkan lafal ف yang masuk kepada ayat dimaksud secara
lansung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ungkapan seperti ini
juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah sebab bagi turunnya ayat tersebut.
Misalnya ialah sabab al-nuzul yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir.
Jabir berkata : “orang-orang Yahudi berkata: “Barang siapa yang menggauli
istrinya pada kubulnya dari arah duburnya, anaknya akan lahir dalam keadaan
juling” maka Allah menurunkan ayat:
نسا
وْكم حرث لكم فأتوا حرثكم انى شىْتم
وقدموا لانفسكم واتقو الله واعلموا انكم ملقوه وبشر الموْمنين
(البقرة 223)
c.
Sabab al-Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini,
rasul ditanya orang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan
ayat yang baru diterimanya. Para mufassir tidak menunjukkan sabab turunnya
dengan lafal sabab al-nuzul dan tidak dengan mendatangkan ف akan
tetapi sabab al-nuzulnya dipahami melalui konteks dan jalan ceritanya,
seperti sebab turunnya ayat tentang ruh yang diriwayatkan dari ibn Mas’ud.
d.
Sabab al-nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas,
tidak dengan mendatangkan ف yang
menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa jawaban yang dibangun atas dasar
pertanyaan, akan tetapi dikatakan :
نزلت
هذه الاية فى كذا
Ungkapan seperti ini tidak secara definitif
menunjukkan sebab, tetapi ungkapan ini mengandung makna sebab dan makna
lainnya, yaitu tentang hukum kasus atau persoalan yang sedang dihadapi. Maka
menurut Al-Zarqani, salah satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua
makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks pembicaraannya.[14]
5. Apakah Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya
Lafal atau Khususnya Sebab?
Ulama Usul berbeda pendapat tentang masalah, “apakah ibarat itu dipandang
dari segi umumnya lafal atau dari segi khususnya sebab? Dalam arti apabila
terjadi suatu peristiwa lalu turunlah ayat yang berhubungan dengan peristiwa
tersebut, apakah hukumnya ditujukan untuk masalah dan kejadian atau orang yang
menjadi kasus diturunkannya ayat tersebut atau hukum itu berlaku secara
menyeluruh?
a.
Jumhur ulama berpendapat yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan
sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk
sebab yang khusus pada hal-hal yang serupa dengan itu. Inilah pendapat yang
sahih.[15]
Imam as-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan
Fi Ulumal al-Qur’an mengatakan: “Diantara dalil/alasan yang menunjukkan
bahwa suatu ibarat itu harus dipandang dari umumnya lafal adalah diambil dari
para sahabat dan lainnya, yang dalam beberapa kasus ditetapkan berdasarkan
umumnya suatu lafal padahal kasusnya pada persoalan khusus.” Ada hadits riwayat
dari Ibnu Abbas menyatakan dalam masalah ini bahwa yang dipandang adalah
umumnya lafal, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas bahwa ayat tentang
hukuman mencuri berlaku untuk umum sesuai dengan firman Allah:
والسارق والسارقة فا قطعوا
ايديهما....
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri potonglah tangan keduanya…” (QS al-Maidah:38)
b. Segolongan ulama berpendapat
bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum;
karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena
itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain
seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu
mengandung faedah, dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya
pertanyaan dengan jawabannya.
6. Faedah
mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau Menafsirkan Ayat dalam
Al-Qur’an
Sebagian orang ada yang
beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak ada
pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan
cerita. Menurut anggapan mereka, ilmu Asbabun Nuzul tidak mempermudah bagi
orang yang hendak bercimpung dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Anggapan
tersebut adalah salah dan tidak patut didengar karena tidak berdasarkan
pendapat para ahli tafsir.
Berikut ini beberapa faedah
mengetahui Asbabun Nuzul ayat diantaranya:[16]
1.
Membantu dalam
memahami ayat, dan menghilangkan keraguan tentangnya. Al-Wahidi dalam kitab
Asbabun Nuzul berkata: “Menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan
penjelasan turunnya tidaklah mungkin.”
Ibnu Daqiq
al-led berkata: “Mengetahui Asbabun Nuzul adalah cara yang tepat untuk memahami
al-Qur’an.”
Ibnu Taimiyyah
berkomentar: “Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat karena ilmu
tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat.”
2.
Mengetahui
hikmah rahasia yang terkandung dalam pengsyari’atan hukum dalam suatu ayat.
3.
Hal ini
bermanfaat bagi mukmin dan bukan mukmin. Adapun bagi orang mukmin akan
bertambah keimanannya dan jelas baginya hikmah disyari’atkannya suatu hukum
oleh Allah. Sedangkan yang bukan mukmin mengetahui lewat Asbabun Nuzul ini
bahwa syari’at Islam itu sesungguhnya mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan
bagi pemeluknya.
4.
Menghindarkan
prasangka bahwa arti hasr (batasan
tertentu) dalam suatu ayat zahirnya hasr.
5.
Imam Syafi’I
meriwayatkan tentang firman Allah:
قل لا أجد فيما أوحى الى محرم على
طاعم يطعمه
“Katakanlah!
Tiadalah aku mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya…” (QS al-An’am: 145)
Beliau mengungkapkan bahwa ayat
tersebut ditujukan bagi orang kafir yang mengaharamkan sesuatu yang dihalalkan
Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta mereka yang terlalu
berlebihan. Turunnya ayat ini adalah sebagai bantahan terhadap mereka. Dengan
demikian, seolah-olah Allah berfirman, “ Yang
halal yang kamu anggap haram dan yang haram yang kamu anggap halal.” Dalam
hal ini, Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas,
melainkan sekedar menjelaskan ketentuan yang haram dan sama sekali tidak
menyinggung-nyinggung yang halal.
5.
Menentukan
hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat
dinyatakan berdasarkan khususnya sebab bukan berdasarkan umumnya lafal.
6.
Mengetahui
orang atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan
bila terdapat keragu-raguan karena jika kita tidak mengetahui Asbabun Nuzul
bisa jadi kita mentakhsiskan ayat yang seharusnya ‘amm atau sebaliknya.
7.
Memudahkan
dalam penghafalan dan pemahaman al-Qur’an serta menguatkan ingatan terhadap
hukum dari suatu ayat dengan karena mengetahui sebab dan akibatnya, kapan dan
kepada siapa ayat tersebut diturunkan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Asbabun Nuzul berarti
suatu hal yang karenanya al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status
hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan,
yang mana studi ilmu Asbabun Nuzul ini sangat signifikan dalam mempertegas dan
mempermudah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Sekian saja yang dapat
kami paparkan disini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari cukup,
hanya sebagai harapan, mudah2an kita
semua bisa memberikan saran, kritikan yang membangun, untuk demi kesempurnaan
makalah ini. Amin………
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shabuniy, Muhammad Ali, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1998
Abdullah Az-Zarkasyi, Muhammad Ibnu Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an, Kairo: Dar
Al-Hadits, 2006
Al-Qattan,
Manna Khalil, pentj. Muzakir AS, Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2007
As-Suyuti, Imam, Al-itqon fii Ulum al-Qur’an, juz 1, no.342 (maktabah Syamilah)
Abdul,
Wahid Ramli, Ulumul Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 2002
Abu Syabah, Muhammad, Al-Madkhal li Dirasati Al-Qur’an Al-Karimi, Kairo:
Maktabah As-Sunnah, 2002
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim, Syeikh. Manahil
al-‘Urfan fi ulum al-Qur’an. Jakarta Gaya Media Pratama, 2001.
Ibrahim, Musa, Buhuts Manhajiyyah fi Ulum al-Qur’an
al-Karim, Oman: Dar Ammar, 1996
Manna’ul Quthan. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Alih
bahasa Halimuddin, S.H. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998.
[1][1] Artinya sebab-sebab turun ayat al-Qur’an, lihat Muhammad Ali Ash Shabuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung:
Pustaka Setia, 1998), h. 39.
[3][3] Atabik Ali, A.
Zuhdi Muhdhor, Kamus Karabiyak, Al’asri ‘arabi indonisy. Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 1998. h. 1905.
[5][5] Zihar ialah bila seorang suami mengatakan kepada
istrinya: “ engkau begitu seperti punggung ibuku.” Bentuk pertanyaan zihar
selain yang tersebut ini masih diperselisihkan.
[7][7] Manna’ul
Quthan. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Alih bahasa Halimuddin, S.H.
Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998. h. 85.
[9][9] Syeikh Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani. Manahil
al-‘Urfan fi ulum al-Qur’an. Jakarta Gaya Media Pratama, 2001. h 122.
[15][15]
Muhammad Abu Syabah, Al-Madkhal Li Dirasati Al-Qur’an Al-Karimi. Kairo. Maktabah As-Sunnah, 2002. h 136-143.
Komentar
Posting Komentar