makalah wakaf
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di Indonesia yang mayoritas
masyarakatnya adalah umat Islam yang beberapa diantaranya telah mengenal wakaf
dengan baik . Potensi wakaf sebagai salah satu sumber dana publik mendapat
perhatian cukup dari masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya
bermunculan lembaga-lembaga amal yang salah satu peranannya adalah mengelola
dana umat, dalam hal ini termasuk wakaf. Dengan adanya pengelolaan wakaf dari
lembaga lembaga amal diharapkan wakaf dapat memajukan kesejahteraan
umum.Pada umumnya wakaf diartikan dengan
memberikan harta secara sukarela untuk
digunakan bagi kepentingan umum dan memberikan manfaat bagi orang banyak
seperti untuk masjid, mushola, sekolah, dan lain-lain. Dengan seiring
berjalannya waktu wakaf nantinya tidak hanya menyediakan sarana ibadah dan
sosial tetapi juga memiliki kekuatan ekonomiyang berpotensi antara lain untuk
memajukan kesejahteraan umum, sehingga perludikembangkan pemanfaatannya sesuai
dengan prinsip syariah.
Saat
ini definisi wakaf lebih mudah dipahami, yaitu wakaf diartikan sebagai
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah. Lalu pengertian harta benda wakaf sendiri juga mengalami
perubahanmaksud yang lebih mudah, yaitubahwa
harta benda wakaf ialah harta benda yang diwakafkan oleh wakif, yang memiliki
daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi
menurut syariah. Harta benda wakaf tersebut dapat berupa harta benda tidak bergerak maupun yang bergerak.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah dipaparkan oleh penulis, maka penulis merumuskan masalah
yang hendak dibahas dalam makalah ini, yakni sebagai berikut:
- Bagaiman pengertian dan jenis-jenis wakaf?
- Apa Syarat dan Rukun Wakaf?
- Apa sasaran dan tujuan wakaf?
- Apa permasalahan dalam praktik perwakafan?
- Bagaimana Wakaf Berdasarkan Hukum Islam?
C.
Tujuan
Beberapa tujuan yang
akan dicapai dari pemaparan penulis dalam makalah ini diantaranya adalah
sebagai berikut:
- Mengetahui pengertian wakaf dan jenis-jenis wakaf
- Mengetahui Syarat dan Rukun Wakaf
- Mengetahui sasaran dan tujuan wakaf
- Mengetahui permasalahan dalam praktik perwakafan
- Mengetahui Bagaimana Wakaf Berdasarkan Hukum Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Jenis-jenis Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Kata
wakaf berasal dari bahasa arab “waqafa” berarti menahan atau berhenti atau diam
di tempat atau tetap berdiri. Secara syariah, wakaf berarti menahan harta dan
memberikan manfaatnya di jalan Allah. Perbedaan pandangan tentang terminology
wakaf adalah sebagai berikut :[1]
·
Mazhab Hanafi
Wakaf
adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif/pewakaf dan
mempergunakan manfaatnya untuk kebijakan.
·
Mazhab Maliki
Wakaf
adalah menahan benda milik pewakaf(dari penggunaan secara kepemilikan termasuk
upah), tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan yaitu
pemberian manfaat benda secara wajar.
·
Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Wakaf
adalah menahan harta pewakaf untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang
kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
·
Pendapat Lain
Mazhab
lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda
yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf’alaih/penerima wakaf, meskipun ia
tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda tersebut, baik menjual/
menghibahkannya.
2.
Jenis-jenis wakaf
a. Berdasarkan Peruntukan
1.
Wakaf ahli (Wakaf Dzurri) atau disebut
juga wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang dipeuntukan bagi kepentingan dan
jaminan sosial dalam lingkungan keluarga, dan lingkungan kerabat sendiri.[2]
2. Wakaf
Khairi (kebajikan) adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama
(keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). Seperti wakaf yang diserahkan
untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti
asuhan anak yatim dan lain sebagainya.
b. Berdasarkan Jenis Harta
Dalam
Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dilihat dari jenis harta yang
diwakafkan, wakaf terdiri atas:
1. Benda
tidak bergerak
2. Benda
bergerak selain uang
3. Benda
bergerak berupa uang (wakaf tunai, cash waqf)
c. Berdasarkan Waktu
1. Muabbad,
yaitu wakaf yang diberikan untuk selamanya.
2. Mu’aqqot,
yaitu wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.
d. Berdasarkan Penggunaan Harta yang
Diwakafkan
1.
Mubayir/dzati yaitu harta wakaf yang
menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti
madrasah dan rumah sakit.
B.
Syarat dan Rukun Wakaf
Syarat-syarat wakaf yang bersifat umum
adalah sebagai berikut:
Barang
yang diwakafkan tidak boleh dibatasi waktu pemanfaatannya, akan tetapi harus
bersifat selama-lamanya.[3]
Tanjiz
(kelestarian), maka tidak sah pewakafan dengan menggantungkan pada terjadinya
sesuatu. Misalnya, “saya mewakafkan kepada Zaid bila telah tiba awal bulan”.
Memang, adalah sah menta’liqkan wakaf dengan masa kematian. Misalnya “saya
wakafkan rumahku kepada orang-orang fakir setelah saya meninggal dunia”.
Perwakafan
tidak berupa barang yang terlarang artinya yang diharamkan, maka tidak sah
wakaf untuk membangun gereja karena untuk beribadah orang Nasrani. Menyebutkan
masyrofnya (mauquf ,alaih), menurut Imam Syafi’i (Kamal, 2003: 200)
Adapun
unsur-unsur atau rukun wakaf menurut sebagian besar ulama dan fiqih Islam,
yaitu ada 5 rukun wakaf yang akan diuraikan di bawah ini: [4]
a. Orang
yang Berwakaf (wakif)
b. Barang
yang Diwakafkan (Mauquf)
c. Mauquf
‘alaih
d. Irar
Wakaf (sighat)
e. Pengelola
Wakaf (Nazhir)
C.
Sasaran dan tujuan wakaf
Secara
umum, tujuan wakaf adalah untuk kemaslahatan manusia, dengan mendekatkan diri
kepada Allah, serta memperoleh pahala dari pemanfaatan harta yang diwakafkan
yang akan terus mengalir walaupun pewakaf sudah meninggal dunia. Selain itu
wakaf memiliki fungsi sosial, karena sasaran wakaf bukan sekedar untuk fakir
miskin tetapi juga untuk kepentingan publik dan masyarakat luas.
Ø Wakaf
memiliki sasaran khusus, yaitu :
1.
Semangat keagamaan
Sasaran
wakaf ini berperan sebagai saran untuk mewujudkan sesuatu yang diniatkan oleh
seorang pewakaf. Dengan wakaf, pewakaf berniat untuk mendapatkan rida Allah dan
kesinambungan pahala yaitu selama harta yang diwakafkan memberi manfaat
sekalipun ia telah meninggal dunia.
2.
Semangat sosial
Sasaran
ini diarahkan pada aktivitas kebajikan, didasarkan pada kesadaran manusia untuk
berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat.Sehingga, wakaf yang dikluarkan
merupakan bukti partisipasi dalam pembangunan masyarakat.
3.
Motivasi keluarga
Motivasi
ini ingin menjadikan wakaf sebagai saran untuk mewujudkan rasa tanggung jawab
kepada keluarga, terutama sebagai jaminan hidup di masa depan. Namun wakaf
tidak dapat diperuntukkan untuk diri pewakaf sendiri ataupun pada janin yang
masih dalam kandungan.
4.
Dorongan kondisional
Terjadi
jika ada seseorang yang ditinggalkan keluarganya, sehingga tidak ada yang akan
menanggungnya. Atau, seorang perantau yang jauh meninggalkan kluarganya.Dengan
wakaf, pewakaf bisa menyalurkan hartanya untuk menyantuni orang-orang tersebut.
5.
Dorongan naluri
Naluri
manusia memang tidak ingin lepas dari kepemilikannya.Setiap orang cenderung
ingin menjaga peninggalan harta orang tua atau kakeknya dari kehancuran atau
kemusnahan. Dengan wakaf, maka dia akan terdorong untuk membatasi pembelanjaan.
Dengan berniat wakaf kepada seseorang atau lembaga tertentu, dia bisa
menyalurkan hartanya dengan baik, tidak kuatir terjadi, pemborosan atau
kepunahan kekayaan.
D.
Permasalahan dalam praktik perwakafan
1. Masalah pemahaman masyarakat tentang
hukum wakaf
Pada
umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf,
maupun maksud disyariatkan wakaf.[5]
Selain
itu, masih cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa benda yang diwakafkan
hanyalah benda tidak bergerak, seperti tanah, bangunan dan benda-benda tidak
bergerak lainnya. Dengan demikian, peruntukkannya pun menjadi sangat terbatas,
seperti masjid , mushalla, rumah yatim piatu, madrasah, dan sejenisnya.
Sehingga perlu disosialisasikan kepada masyarakat perlu dikembangkannya wakaf
benda bergerak, selain benda tiak bergerak.[6]
Pewakaf
pun kurang mempertimbangkan kemampuan
nadzir untuk mengelola harta wakaf sehingga tujuan wakaf untuk meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan umat tidak optimal. Sementara di masa lalu cukup
banyak wakaf berupa kebun yang produktif, yang hasilnya diperuntukkan bagi
mereka yang memerlukan.Untuk itu, kompetensi pengelola wakaf harus diperhatikan
agar sasaran wakaf dapat tercapai optimal.
2. Pengelolaan dan manajemen wakaf
Pengelolaan
dan manajemen wakaf yang lemah dapat mengakibatkan pengelolaan harta wakaf
tidak optimal, harta wakaf terlantar, bahkan harta wakaf dapat hilang.Untuk
mengatasi masalah ini, paradigma baru dalam pengelolaan wakaf harus
diterapkan.Wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen
modern.Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa yang perlu
dilakukan.Selain perumusan konsepsi fikih wakaf dan peraturan
perundang-undangan, pengelola wakaf harus dibina dan dilatih menjadi pengelola
wakaf profesional untuk dapat mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi
jika harta itu berupa uang.
Di
samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus
untuk melakukan pembinaan pengelola wakaf, antara lain Badan Wakaf Mesir, Badan
Wakaf Sudan, Badan Wakaf Indonesia, dan lain-lain.
Pengelola
wakaf adalah salah satu unsur penting dalam perwakafan.Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada
kemampuan pengelola wakaf. Apabila pengelola wakaf kurang cakap dalam mengelola
harta wakaf, dapat mengakibatkan potensi harta wakaf sebagai sarana untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat muslim tidak optimal. Bahkan dalam bebagai
kasus ada pengelola wakaf yang kurang memegang amanah, seperti melakukan
penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf, dan
kecurang-kecurangan lain sehingga memungkinkan harta tersbut berpindah tangan.
Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya calon pewakaf sebelum berwakaf
memperhatikan lebih dahulu apa yanfg diperlukan masyarakat, dan dalam memilih
pengelola hendaknya dipertimbangkan kompetensinya.
E.
Wakaf Berdasarkan Hukum Islam
Dalil
yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahaman ayat Al-Qur’an dan juga As-Sunnah. Tidak ada
dalam ayat Al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Yang
ada adalah tentang pemahaman konteks terhadap ayat Al-Qur’an yang dikategorikan
sebagai amal kebaikan. Ayat-ayat yang dipahami berkaitan dengan wakaf sebagai
amal kebaikan di antaranya terdapat pada:[7]
·
QS. Ali Imron ayat 92
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian
harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya”.
Para
ulama berselisih paham mengenai makna “nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu
yang baik”. Sebagian ulama mengartikan ayat tersebut hubungannya dengan sedekah
wajib (zakat). Sebagian yang lain mengartikan, ayat tersebut membicarakan
tentang sedekah sunnah untuk kepentingan Islam secara umum. Perbedaan ulama
tersebut berkisar pada sedekah wajib dan sunnah, tapi keduanya tetap dalam
koridor membela kepentingan orang Islam yang lain (sosial). Sedangkan yang
dimaksud “hasil usaha yang baik” adalah hasil usaha pilihan dan halal.[8]
Dari
pengertian di atas tersirat makna perintah memberikan sebagian dari hasil usaha
yang halal dan terbaik untuk kepentingan umum di luar kepentingan pribadi.
Artinya, urusan Islam secara umum mendapat perhatian lebih. Perhatian itu
tesirat dari harta yang diberikan adalah yang terbaik, pilihan, dan halal. Hal
ini bertentangan dengan kenyatan yang banyak terjadi. Sedekah, baik sedekaah
waib maupun sedekah sunnah (termasuk wakaf) banyak yang diambil dari harta yang
tidak produktif dan efektif. Akibatnya nilai sedekah terbengkalai (Anshori,
2006: 21).
Adapun dasar amalan
wakaf yang tercantum dalam Hadist antara lain:
“Dari
Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda: ‘Apabila anak Adam
(manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara:
shadaqah jariyah’, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang mendoakan
orang tuanya” (HR. Muslim)
Ada hadist Nabi yang
lebih tegas menggambarkan dianjurkan ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada
Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:
“Dari
Ibn Umar ra. berkata, bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah di
Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar
berkata: ‘Ya Rasulallah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum
pernah mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintah kepadaku?’
Rasulullah menjawab: ‘Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu
sedekahkan (hasilnya)’. Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak
dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkannya kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu.
Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu
(pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepntasnya) atau makan
dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).
Dilihat dari beberapa
ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi yang
menyinggung tentang wakaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu
sedikit sekali hukum- hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber
tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat
ijtihadi, bukan ta’abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan,
jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.
Meskipun
demikian, ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para
ahli fiqh Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas
dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum
(ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam
ditetapkan sebagai hasil ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan
lain-lain. Penafsiran yang sering digulirkan oleh para ulama, bahwa wakaf ini
sangat identik dengan shadaqah jariyah, yaitu suatu amal ibadah yang memiliki
pahala yang terus mengalir selama masih bisa dimanfaatkan oleh kehidupan
manusia.
Oleh
karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi,
maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap
penafsiran-penafsiran baru, dinamis, fururistik (berorientasi pada masa depan).
Sehingga dengan demikian, ditinjau dari ajaran saja, wakaf merupakan sebuah
potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan
yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah.
Memang
ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan ajaran yang
bersifat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu
besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Kata
wakaf berasal dari bahasa arab “waqafa” berarti menahan atau berhenti atau diam
di tempat atau tetap berdiri
2.
rukun wakaf yang akan diuraikan di bawah ini:
a.
Orang
yang Berwakaf (wakif)
b.
Barang
yang Diwakafkan (Mauquf)
c.
Mauquf
‘alaih
d.
Irar
Wakaf (sighat)
e.
Pengelola
Wakaf (Nazhir)
3.
tujuan wakaf adalah untuk kemaslahatan
manusia, dengan mendekatkan diri kepada Allah, serta memperoleh pahala dari
pemanfaatan harta yang diwakafkan yang akan terus mengalir walaupun pewakaf
sudah meninggal dunia.
4.
Permasalahan
dalam praktik perwakafan
a.
Masalah
pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf
b.
Pengelolaan dan manajemen wakaf
5.
ayat
yang berkaitan dengan wakaf sebagai amal kebaikan di antaranya terdapat pada:
QS. Ali Imron
ayat 92
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kami
yakin dalam penulisan makalah ini masih banyak kessalahan-kesalahan. Untuk itu,
kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberiakan
manfaat pada kita semua. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur,
2006, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia
Yogyakarta: Pilar Media.
As’ad,
Aliy, Terjemah Fatkhul muin, Kudus: Menara kudus Departeman Agama RI,2007, Fiqh
Wakaf. Jakarta: Derektorat Pembinaan Wakaf.
Basir, Ahmad Azhar,
1987, Wakaf Izarah dan Syirkah, Bandung: Al-Ma,arif.
Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, 2007, Paradigma Baru wakaf di Indonesia,
Jakarta:Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat
Islam.
Departemen Agama RI, 2007, Panduan Pemberdayaan
Tanah Wakaf
Produktif
Strategis di Indonesia. Jakarta:
Derektorat Pemberdayaan Masyarakat Islam dan Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam.
Kamal, Mustafa, et al.
2003, Fikih Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Munawir, Ahmad Warson,
2002 Kamus Al-Munawir Arab Indonesia,
Surabaya: Pustaka Progresif.
Qahaf,
Munzir , 2005, Menejemen Wakaf
Produktif, Jakarta: Pustaka Kausar Grup.
[2]
Anshori, Abdul Ghofur, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia Yogyakarta:
Pilar Media.
[3] Anshori,
Abdul Ghofur, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia Yogyakarta: Pilar
Media.
[4] Departemen
Agama Republik Indonesia, 1998, Al-quran dan terjemah, Surabaya: Alhidayah.
[5] Produktif
Strategis di Indonesia. Jakarta:
Derektorat Pemberdayaan Masyarakat Islam danDerektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam.
[7] Munawir,
Ahmad Warson, 2002 Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progresif.
[8] Kamal,
Mustafa, et al. 2003, Fikih Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Komentar
Posting Komentar