makalah sistem ekonomi
Hutang piutang
adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia.
Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya perkara
ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman (hutang)
juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.
Islam sebagai
agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur mengenai
perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada
dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan.
Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk
dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai
menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu
sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui
oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang
telah disyariatkan oleh Allah swt.
Bertolak dari
apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh
agama Islam terkait al-Qardh (hutang piutang) dengan kajian normatif yang
dikutip dari berbagai sumber terkait definisi, landasan hukum, hukum qardh,
dan lain sebagainya.
Berdasarkan latar belakang di
atas, terdapat beberapa masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Apa definisi al-Qardh menurut
bahasa dan istilah?
2. Apa landasan hukum mengenai al-Qardh?
3. Apa saja rukun dan syarat al-Qardh?
4. Bagaimana tata cara pengembalian hutang
dilihat dari waktu, tempat dan harta yang dikembalikan?
5. Apa hikmah disyariatkan al-Qardh?
6.
Bagaimana
problemtika terkait al-Qardh pada masa sekarang?
1. Untuk menjelaskan definisi al-Qardh
menurut bahasa dan istilah.
2. Untuk memaparkan landasan hukum
mengenai al-Qardh.
3. Untuk menjelaskan rukun dan syarat al-Qardh.
4. Untuk menjelaskan tata cara
pengembalian hutang dilihat dari waktu, tempat dan harta yang dikembalikan.
5. Untuk memaparkan hikmah disyariatkan al-Qardh.
6. Untuk menjelaskan problemtika terkait al-Qardh
pada masa sekarang.
Qardh secara
etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’- yaqridhuhu,
yang berarti dia memutuskanya.
Qardh adalah bentuk
masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh,
aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang
diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh
secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan
memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[2][2] Menurut Firdaus at al., qardh adalah
pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau
akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.[3][3]
Menurut ulama Hanafiyah:
القَرْضُ هُوَ مَا تُعْطِيْهِ مِنْ
مَالٍ مِثِليٍّ لِتَتَقَاضَاهُ ،أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى هُوَ عَقْدٌ مُخُصُوصٌ
يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِأخَرَلِيَرُدَّ مِثْلَهُ
Artinya:
“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil
(yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau
dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk
menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan
persis seperti yang diterimanya.”[4][4]
Sayyid Sabiq memberikan
definisi qardh sebagai berikut:
الْقَرْضُ هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ
يُعْطِيْهِ الْمُقْرِضُ لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ إِلَيْهِ عِنْدَ
قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ
Artinya:
“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang
(muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya
(muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”[5][5]
Hanabilah sebagaimana
dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai berikut:
اَلْقَرْضُ دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ
يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه
Artinya:
“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya
dan kemudian mengembalikan penggantinya.”[6][6]
Adapun pendapat Syafi’iyah adalah
sebagai berikut:
اَلشَّا فِعِيَّةُ قَالُوْا :
اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِالْمُقْرَض.
Artinya:
“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’
diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat
harus dikembalikan).”[7][7]
Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan
ijma’:
1. Dasar dari al-Qur’an adalah firman
allah swt:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًاحَسَنًا فَيُضَاعِقَهُ
لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang
baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah
bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan memberi infaq fi sabilillah
dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat
ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena
orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga
menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.[8][8]
2. Dasar dari as-sunnah :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ
النَّبِيًّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : مَامِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ
مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلَّا كَانَ كَصَدَ قَةٍ مَرَّةً (رواهابن ماجه
وابن حبان)
Artinya:
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada
seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka
seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)[9][9]
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad
dibolehkan dalam islam. Hukum qarad adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan
mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits diatas.
Hukum qardh
(hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang makruh,
terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara
mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang
yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang
kaya, maka orang yang kaya itu wajib
memberinya hutang.
Jika pemberi
hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat
maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram atau makruh sesuai dengan
kondisinya. Jika seorang yang berhutang bukan
karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal
perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum
memberi hutang kepadanya adalah mubah.
Seseorang boleh
berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai harta
yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar
hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang. Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka
menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya
tertolong dari kelaparan.[10][10]
Rukun qardh
(hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua
pihak yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan
rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1. Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab
dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’ bahwa ijab itu sah
dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti
kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.
Demikian pula qabul sah dengan semua
lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku berhutang” atau “aku menerima”
atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2. ‘Aqidain
Yang dimaksud dengan ‘aqidain
(dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi hutang dan penghutang.
Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
a. Syarat-syarat bagi pemberi hutang
Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi
pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’ (orang yang boleh
memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai (rasyid,
dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang
piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah
kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti shadaqah. Syafi’iyyah berargumentasi
bahwa al-qardh (hutang piutang) mengandung tabarru’ (pemberian
derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat) dan tabarru’. Syafi’iyah menyebutkan
bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma harus dengan kerelaan, bukan
dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang yang dipaksa tanpa alasan yang
benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti jika seseorang harus
berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan memaksa. Hanafiyah mengkritisi
syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan member derma) bagi pemberi hutang bahwa
tidak sah seorang ayah atau pemberi wasiat menghutangkan harta anak kecil. Hanabilah mengkritisi
syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma) bagi pemberi hutang bahwa
seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan harta anak yatim itu dan
nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta wakaf. Syafi’iyah merinci
permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa seorang wali tidak boleh
menghutangkan hartaorang yang dibawah perwaliannya kecuali dalam keadaan
darurat jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh menghutangkannya meskipun
bukan dalam kondisi darurat.
b. Syarat bagi penghutang
1) Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk
kategori orang yang mempunyai ahliyah al-mu’amalah (kelayakan melakukan
transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma). Adapun kalangan
ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan
memberikan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.
2) Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu
menanggung karena hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak
sah member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga diperbatasan
dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi menanggung.
c. Harta yang dihutangkan
Rukun yang
ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.
1. Harta yang
dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta yang satu sama
lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan
nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan
dihitung. Tidak boleh menghutangkan harta yang
nilainya satu sama lain dalam satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu
mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini
karena tidak ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara mengembalikan
harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena perbedaan harga dan
taksiran nilainya. Demikian ini pendapat kalangan hanafiyah. Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang
paling benar di kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta
yang ada padanya. Bahkan, semua barang yang boleh ditransaksikan dengan cara
salam, baik berupa hewan maupun lainnya, yakni semua yang boleh diperjual
belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya meskipun harta itu berupa sesuatu
yang berubah-ubah harganya. Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw
pernah berhutang unta muda sehingga masalah ini dikiaskan dengannya. Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang
tidak boleh diperjualbelikan dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat
dijelaskan dengan sifat, seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah mengecualikan sesuatu yang
tidak boleh dijual dengan salam, yakni hutang roti dengan timbangan karena
adanya kebutuhan dan toleransi.
Hanabilah berpendapat
bahwa bole menghutangkan semua benda yang boleh dijual, baik yang ada
padanannya maupun yang berubah-ubah harganya, baik yang dapat djelaskan dengan
sifat maupun tidak.
b. Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak
sah menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Berbeda dengan kalangan
syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang dihutangkan
berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat
dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi mereka semua yang boleh
diperjualbelikan dengan cara salam boleh dihutangkan, sedangkan bagi mereka
salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti halnya benda padaa umumnya. Pendapat
yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya
menghutangkan manfaat (jasa).
c. Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak
dipertentangkan oleh fuqaha’ karena dengan demikian penghutang dapat membayar
hutangnya dengan harta semisalnya (yang sama). Syarat ketiga ini mencakup dua
hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2) diketahui sifatnya. Demikian ini agar
mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka
tidak sah.[11][11]
مَكَانُ الوَفَاءِ: اِتَّفَقَ عُلَمَاءُ المَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ عَلَى أَنَّ
وَفَاءَ القَرْضِ يَكُوْنُ فِي البَلَدِ الَّذِي تَمَّ فِيْهِ الإقْرَاضُ،
وَيَصِحُّ إيْفَاؤُهُ فِي أَيِّ مَكَانٍ آخَرَ إِذَا لَمْ يَحْتَجْ نَقَلَهُ إِلَى
حَمْلٍ وَمُؤْنَةٍ أَوْ وَجَدَ خَوْفِ طَرِيقٍ، فَإنْ احْتَاجَ إِلَى ذَلِكَ لَم
يَلْزَم المُقْرِضُ بِتَسْلِمِهِ.[12][12]
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian
barang pinjaman hendaknya di tempat dimana akad qardh itu dilaksanakan.
Dan boleh juga di tempat mana saja, apabila tidak membutuhkan biaya kendaraan,
bekal dan terdapat jaminan keamanan. Apabila semua itu diperlukan, maka bukan
sebuah keharusan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya.[13][13]
Adapun untuk waktu pengembalian adalah sebagai berikut:
وَوَقْتُ رَدِّ بَدْلِ
القَرْضِ عِنْدَ غَيْرَ المَالِكِيَّة فِي أيِّ وَقْتٍ شَاءَ الْمُقْرِضُ بَعْدَ
قَبْضِ الْمُسْتَقْرِضِ مَالَ القَرْضِ؛ لِأَنَّهُ عَقْدٌ لَا يَثْبُتُ فِيْهِ
الأَجَلُ. وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أنَّ وَقْتَ رَدِّ بَدْلِ القَرْضِ
عِنْدَ حُلُوْلِ أَجَلِ وَفَاءِ القَرْضِ؛ لِأَنَّ القَرْضَ يَتَأَجَّلُ
عِنْدَهُمْ بِالتَّأْجِيْلِ، كَمَا تَقَدَّمَ بَيَانُهُ.[14][14]
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta
pengganti adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah
peminjam menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak
mengenal batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu
adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan diawal.
Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.[15][15]
Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk
mengembalikan harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan
mengembalikan harta semisal dengan bentuknya (dalam pandangan ulama selain
Hanafiyah) bila pinjamannya adalah harta qimiy, seperti mengembalikan
kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang dipinjam.[16][16]
يَجِبُ عَلَى الْمُقْتَرِضِ أَنْ يَرُدَّ مِثْلُ الْمَالِ
الَّذِي اقْتَرَضَهُ إِنْ كَانَ الْمَالُ مِثْلِيّاً بِالاِتِّفَاقِ، وَيَرُدَّ
مِثْلُهُ صُورَةً عِنْدَ غَيْرِ الحَنَفِيَّةِ إِذَا كَانَ مَحَلُّ القَرْضِ
مَالاً قِيْمِيّاً، كَرَدِّ شَاةٍ تُشْبِهُ الشَّاةِ الَّتِي اقْتَرَضَهَا فِي
أَوْصَافِهَا.
Atas dasar itu,
ulama hanafiyah tetap mewajibkan mengembalikan harta qimiy
sesuai dengan apa yang sebelumnya dipinjam.
Hikmah
disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari
orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan,
dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi hutang (muqridh)
yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan
sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.[17][17]
Adapun hikmah
disyariatkannya Al-Qardh (hutang piutang) menurut Syekh Sayyid Tanthawi
dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah sebagai berikut:[18][18]
وَحِكْمَةُ مَشْرُوْعِيَّتِهِ :
التَيْسِيْرُ عَلَى النَّاسِ, والرِّفْقُ والرَّحْمَةُ بِهِمْ, والعَمَلُ عَلَى
تَفْرِيْجِ مَتَاعِبِهِم, وقَضَاء مَصَالِحِهِم
1. Memudahkan kepada manusia (التَيْسِيْرُ عَلَى النَّاسِ).
2. Belas
kasih dan kasih sayang terhadap mereka (الرِفْقُ والرَحْمَةُ
بِهِمْ) .
3. Perbuatan yang membuka lebar-lebar
(menguraikan) kesulitan yang mereka hadapi (العَمَلُ عَلَى تَفْرِيْجِ مَتَاعِبِهِمْ).
4. Mendatangkan
kemaslahatan bagi mereka yang berhutang (قَضَاء مَصَالِحِهِم).
Para Ulama Fiqh
sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad
saling tolong menolong), bukan transaksi komersil. Maka, dalam perbankan
syariah akad ini dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial bank
syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman murni kepada orang yang membutuhkan
tanpa dikenakan apapun. Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, kecuali
jika bank mengikhlaskannya.[19][19] Jika dengan pinjaman ini nasabah
berinisiatif untuk mengembalikan lebih dari pinjaman pokok, bank sah untuk
menerima, selama kelebihan tersebut tidak diperjanjikan di depan. Bahkan jika
terjadi hal yang demikian, maka hal tersebut merupakan wujud dari penerapan
hadits Rasulullah SAW berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
عَنْ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ، فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ، فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «أَعْطُوهُ»، فَطَلَبُوا سِنَّهُ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا
فَوْقَهَا، فَقَالَ: «أَعْطُوهُ»، فَقَالَ: أَوْفَيْتَنِي وَفَى اللَّهُ بِكَ،
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً» (رواه البخاري)[20][20]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan
dari Salamah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada
seorang laki-laki pernah dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam lalu orang itu datang kepada Beliau untuk menagihnya. Maka
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah". Maka
orang-orang mencari anak unta namun mereka tidak mendapatkannya kecuali anak
unta yang lebih tua umurnya, maka Beliau bersabda: "Berikanlah
kepadanya". Orang itu berkata: "Anda telah memberikannya kepadaku
semoga Allah membalas anda". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah siapa yang
paling baik menunaikan janji".
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ
بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ اسْتَقْرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سِنًّا فَأَعْطَاهُ سِنًّا خَيْرًا مِنْ سِنِّهِ وَقَالَ خِيَارُكُمْ
أَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً. (رواه الترمذي)[21][21]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Waki' dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari
Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam (berhutang)
kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu. Kemudian beliau
mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah berumur yang lebih baik
dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka
yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang
dipinjam).”
Hadits tersebut
menunjukkan bahwa seorang peminjam sebaiknya mengembalikan pinjamannya lebih
dari apa yang dia pinjam.
Dalam perbankan
syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank. Dananya bisa diambil
dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang dihimpun oleh bank dari para aghniya’
atau diambilkan dari sebagian keuntungan Bank. Bank kemudian membuat kriteria
tertentu kepada nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria tersebut
berlandaskan berlandaskan pada tingkat
kemiskinan dan
kekurang mampuan nasabah. Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang diberikan
adalah dipergunakan untuk kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif. Adapun
cara pengembaliannya dengan cara diangsur, maupun dibayar sekaligus. Jika
pinjaman sudah dikembalikan, bank dapat memutar kembali secara bergulir.[22][22]
A.
Kesimpulan
Jadi kesimpulan dari materi utang piutang di dalam islam
adalah sebagai berikut :
1.
Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah
al-Hanif, 2009), hal. 153.
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178.
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah,
2010), hal. 273.
Sayid sabiq, fiqh
as-sunnah, (Cet. 3; Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), juz 3, hal 182.
Mushtafa
Al-Babiy Al-Halabiy, Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah, terj. Ali Fikri,
mesir 1356 H, hal 346.
Wahbah
Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Jilid 4 hal. 720.
Wahbah
Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,
terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Cet: 1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378
Sayyid Tanthawi, Fiqh Al-Muyassar, Juz 3, hal. 39.
Yazid Afandi, Fiqh
Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hal. 144.
Muhammad bin
Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Cet.1; Dar Thuq
An-Najah, 1422 H) hal. 2393.
Muhammad bin
Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), Sunan Tirmidzi, (Cet. 2; Mesir:
Syarikah Maktabah, 1395 H), hal. 1316.
Abdul Rahman
Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon, Beirut: Dar-
AlKutub Al-Ilmiyah, 2003)
[1][1] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon, Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003), hal. 303 maktabah syamilah.
[2][2] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif,
2009), hal. 153.
[3][3] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178.
[6][6]Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy, Al-Muamalat
al-maddiyah wa al-adabiyah, terj. Ali Fikri, mesir 1356, hal 346.
[13][13] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Cet: 1; Jakarta: Gema
Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378
[15][15] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 378.
[16][16] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 379.
[20][20] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, (Cet.1; Dar Thuq An-Najah, 1422 H) hal. 2393.
[21][21] Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa (Imam
Tirmidzi), Sunan Tirmidzi, (Cet. 2; Mesir: Syarikah Maktabah, 1395 H),
hal. 1316.
Komentar
Posting Komentar